Spirit Persaudaraan Antarbudaya Tersaji dalam Semangkuk Wedang Ronde

Oleh Ocdy Susanto

JAKARTA, Trenz Corner | Sejak dulu, manusia di dunia ini sudah sangat akrab dengan persilangan budaya. Wujudnya pun bisa sangat beragam. Ada yang berupa piranti untuk kerja. Ada juga yang berupa kesenian, bahasa, bahkan mungkin juga sistem pemerintahan. Atau, seni arsitektur.

Tetapi, yang paling umum dibicarakan adalah persilangan budaya dalam rupa boga. Seperti sajian kuliner yang satu ini, wedang ronde! Dari namanya, mungkin banyak orang beranggapan bahwa menu yang satu ini khas Jawa. Apalagi, kebanyakan orang yang berjualan minuman ini—terutama di Kota Pekalongan—rata-rata orang Jawa.

Padahal, ada fakta lain tentang jenis minuman penghangat badan ini. Fakta ini jarang ada yang tahu. Ternyata, minuman ini tergolong minuman yang telah mengalami proses perkawinan antarbudaya. Yaitu, antara budaya Jawa dengan budaya Tiongkok. Lalu, bagaimana ceritanya mereka bisa kawin?

Seperti kita tahu, budaya bangsa-bangsa Timur, sudah sejak lama diwujudkan dalam perlambangan. Orang Tiongkok, Nusantara, India, bahkan juga Arab, sama-sama memiliki simbol-simbol di dalam memaknai kehidupan. Simbol-simbol ini lantas digunakan pula untuk menata perilaku manusia.

Seperti pada kata “wedang” yang tentu saja tak asing bagi telinga orang Jawa dan mungkin sudah familiar bagi orang Indonesia. Dalam keratabasa Jawa, kata “wedang” tersusun dari dua kata, yaitu “ngawe” (melambaikan tangan) dan “kadang” (saudara). Artinya, sesuatu yang mempererat atau menambah persaudaraan.

Lalu, sesuatu itu disimbolkan dalam bentuk benda atau sajian. Dalam tradisi Jawa, simbol itu diwujudkan menjadi sajian minuman. Apapun minumannya.

Mengapa minuman? Karena dengan memberikan minuman kepada siapapun, itu akan membuat si penerima duduk bersama untuk beberapa saat. Dengan begitu, antara pemberi dan penerima minuman itu akan terjadi obrolan. Tentang apa saja. Mungkin bisa perkenalan atau kalau yang sudah saling kenal ya obrolan yang lebih intens tentunya.

Makanya, orang-orang Jawa zaman dulu kalau melihat seorang pejalan kaki melintas di depan rumah, tak jarang mereka akan menyilakan mampir ke rumah. Duduk di teras sembari menawari minuman untuk melepas dahaga si pejalan kaki ini. Atau, bisa juga dengan cara menyediakan padasan di halaman rumah yang bisa digunakan para pejalan kaki untuk minum.

Selain itu, wedang juga disuguhkan untuk para tamu. Baik sebagai penghapus rasa dahaga, maupun agar tamu merasa betah. Lho, yang namanya tamu kan pembawa rezeki. Jadi, semakin betah, semakin baik. Mungkin saja begitu.

Sementara kata “ronde” sebenarnya berasal dari kata “onde” konon diambil dari bahasa Tiongkok, jian dui. Yaitu, sejenis jajanan pasar yang umumnya terbuat dari tepung ketan berbentuk bulat. Biasanya, pada bagian luarnya ada taburan biji wijennya. Dalam bahasa Hainan, disebut juga zhen dai atau zhimaqiu.

Jenis kue ini sudah dikenal di Tiongkok sejak ratusan tahun silam. Terutama di era Dinasti Tang yang berkuasa antara tahun 618–690 dan 705–907. Ada juga yang menyebut, kue ini mulai dibuat sejak era Dinasti Zhou berkuasa (1045-256 SM). Dulu, kue ini disajikan bagi para tukang kayu dan tukang batu yang bekerja untuk membangun istana.

Konon, penyajian kue onde untuk tukang kayu dan tukang batu ini tidak lepas dari perlambangan kue onde itu sendiri. Menurut tradisi yang berkembang di Tiongkok pada waktu itu, kue ini dijadikan sebagai simbol keselamatan dan kebersamaan. Dengan kata lain, penyajian kue ini diharapkan akan memberi semangat kepada para tukang agar mereka senantiasa menjalankan tugas secara bersama-sama demi keselamatan negeri mereka.

Tak heran, jika seorang penyair Tiongkok kesohor di era Dinasti Tang, Wang Fanzhi, menyebut kue ini sebagai kue istimewa. Lebih-lebih di lingkungan istana Chang’an. Apalagi dengan bentuknya yang bulat, melambangkan bentuk dunia. Membuat kue ini makin menemukan makna mendalam bagi bangsa Tiongkok.

Bahkan, sebagai ungkapan rasa syukur mereka, bangsa Tiongkok sampai-sampai mendudukkan kue onde begitu spesialnya. Mereka meyakini, bahwa kue onde merupakan anugerah besar bagi kehidupan manusia. Makanya, mereka pun memberikan hari khusus bagi kue onde sebagai hari raya kue onde.

Biasanya, perayaan onde dilakukan di bulan Desember. Tetapi, itu bukan hitungan pasti. Kadang bertepatan pada bulan kesepuluh atau kesebelas dalam kalender Tiongkok. Bergantung pada  perhitungan  empat  tahun  sekali. Sementara, berdasarkan tarikh Masehi, perayaan onde jatuh pada tanggal  22  Desember.

Beberapa catatan menyebutkan, sembahyang onde di Tiongkok berlaku sejak Kaisar Song Kho Cong dari Dinasti Song memerintah (1127-1152 M). Ada juga yang mengatakan, sembahyang onde sudah ada sejak Dinasti Han (220-206 SM). Yang jelas, sembahyang onde merupakan persembahan bagi Dewa-dewa, arwah leluhur, dan ditujukan pula bagi elemen-elemen alam (logam, air, api, tanah, dan kayu).

Biasanya, sembahyang onde dilakukan di Vihara. Mereka membawa onde yang mereka buat sendiri ke Vihara. Dengan sebuah nampan, kue onde yang disajikan di dalam mangkuk dilengkapi dengan kuah yang diletakkan pada teko, sajian ini ditumpukan di atas altar persembahan. Di hadapan para Dewa, mereka memanjatkan doa untuk keselamatan dan kebaikan bagi semua, terutama bagi seluruh anggota keluarga.

Selesai melakukan sembahyang onde, mereka pun akan membagikan kue onde itu kepada sanak keluarga, tetangga, dan kawan-kawan mereka. Terutama, mereka yang tidak membuat kue onde. Dengan harapan, agar semua orang dapat merasakan kegembiraan yang sama, serta kebahagiaan yang mereka rasakan. Khusus untuk anak-anak, kue onde yang mereka peroleh disesuaikan dengan umur mereka.

Ada kepercayaan unik dalam perayaan sembahyang onde. Jika di rumah ada salah seorang anggota keluarga yang tengah hamil, maka saat memulung kue onde, kue itu mesti dibakar. Tujuannya, untuk mengetahui kelahiran anak yang sedang di kandung. Jika saat dibakar dan ditusuk lidi onde itu merekah, maka dipercaya anak yang dikandung adalah perempuan. Sementara, jika kue onde itu menonjol keluar, maka anak yang dikandung adalah laki-laki.

Jika ditilik kembali pada makna simbolik wedang dan onde, keduanya memiliki spirit yang sama. Yaitu, mengedepankan persaudaraan demi menjaga keselamatan. Kecocokan spirit inilah yang mungkin sekali membuat dua jenis sajian ini bisa disandingkan.

Konon pula, penyandingan dua jenis sajian ini terjadi di era Majapahit. Dimulai dari penjelajahan Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming. Saat itu, banyak para pedagang Tiongkok yang membawa kue onde.

Hingga kini, jenis sajian minuman ini masih kerap dijumpai saat malam tiba. Wedang ronde biasa dijual di gerobak pinggir jalan, di pasar-pasar atau di tempat-tempat keramaian lainnya. Bahkan ada juga yang berjualan keliling dengan gerobak dorong atau dengan sepeda motor.

Penggemarnya pun masih banyak. Terutama, mereka yang membutuhkan minuman penghangat badan. Mungkin karena masuk angin atau mriyang. Atau, sekadar ingin merasakan sensasi rasa hangat minuman wedang ronde.

Apapun itu, kehadiran wedang ronde sebenarnya turut menggerakkan ekonomi warga. Selain memberi peluang usaha dan meningkatkan taraf kehidupannya, wedang ronde bahkan menjadi bagian dari gaya hidup. Apalagi, saat menikmati kehangatan wedang ronde, seseorang disuguhi pula pemandangan perkotaan malam hari yang gemerlapan. Sesuatu yang bagi orang-orang bisa sedikit membuat mereka melepas penat setelah seharian beraktivitas. (Ocdy Susanto} | Foto: Dok. Pribadi & Google.co.id

#Dinasti Ming#majapahit#nusantara#Tiongkok#wedang rondeLaksamana Cheng HoSembahyang Ondewedang
Comments (0)
Add Comment