Peluang Perbaikan atau Ancaman Kebebasan Pers?
Jakarta, Trenzindonesia | Wacana revisi UU Penyiaran yang dirancang untuk menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 terus menuai pro dan kontra.
Salah satu kritik keras datang dari Dewan Pers dan komunitas pers, yang mengkhawatirkan potensi dampaknya terhadap kebebasan pers dan independensi media. Namun, politisi dan anggota Komisi I DPR RI, Desy Ratnasari, menilai kritik tersebut harus disertai penjelasan yang konstruktif untuk mencari solusi bersama.
“Bukan Menolak, Tapi Diskusi Dulu”
Desy menekankan bahwa penolakan tanpa dasar yang jelas dapat menghambat proses legislasi.
“Kalau memang substansinya tidak nyaman, pasal mana yang dianggap bermasalah? Itu bisa dibicarakan. Penolakan sebaiknya dilengkapi argumentasi, agar revisi ini bisa mengakomodasi kebutuhan semua pihak,” ujar Desy dalam pernyataan pers di Gedung Nusantara, Senayan (18/11/2024).
Menurutnya, revisi ini bertujuan untuk memperkuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menghadapi tantangan era digital, terutama dalam melindungi anak-anak dari konten yang tidak sesuai dengan norma budaya Indonesia.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi I DPR RI, Dewan Pers, KIP, dan KPI, Desy menyoroti maraknya penggunaan platform digital oleh anak-anak. Ia menyebut, iklan pop-up yang sering muncul saat anak-anak mengakses perangkat digital kerap mengarahkan pada konten berlangganan seperti sinetron atau drama yang tidak sesuai dengan usia mereka.
Desy menyatakan bahwa KPI saat ini belum memiliki kewenangan yang cukup untuk mengawasi platform digital secara efektif.
“Perlindungan adab, akhlak, dan nasionalisme itu inti dari revisi ini. KPI harus diberi wewenang lebih untuk memastikan konten digital yang diakses anak-anak tetap sesuai norma dan nilai-nilai budaya kita,” katanya.
Di sisi lain, komunitas pers dan pengamat media menilai bahwa beberapa pasal dalam draf revisi ini justru berpotensi membatasi kebebasan pers. Salah satu yang disorot adalah ketentuan terkait penayangan jurnalisme investigasi, yang dianggap dapat mereduksi independensi media.
Namun, Desy mengingatkan bahwa revisi ini bukan hanya tentang mengatur media, tetapi juga memastikan lembaga-lembaga seperti KPI, KIP, dan Dewan Pers dapat bekerja bersama dalam menciptakan ekosistem informasi yang akuntabel.
“KPI, KIP, dan Dewan Pers adalah satu kesatuan. Kolaborasi mereka penting untuk mencerdaskan masyarakat dengan informasi yang bertanggung jawab,” lanjutnya.
Revisi UU Penyiaran ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2019-2024 dan kini diajukan kembali untuk masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025. Dengan fokus pada perlindungan anak dan penguatan KPI, Desy percaya revisi ini adalah langkah penting untuk menyeimbangkan kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial.
Sebagai salah satu RUU yang cukup strategis, revisi UU Penyiaran ini perlu mendapatkan masukan dari semua pihak, baik dari pemerintah, lembaga penyiaran, hingga komunitas pers. Desy menekankan pentingnya diskusi yang produktif agar regulasi ini mampu menjawab tantangan zaman tanpa mengorbankan prinsip demokrasi. (Da_Bon/Fjr) | Foto: Istimewa