BOROBUDUR MAGELANG, Trenzindonesia | Acara diskusi terkait dengan perayaan Trisuci Waisak 2566 BE yang bertema Peningkatan Candi Borobudur pada stakeholder di Jawa Tengah, terselenggara pada hari Sabtu, 3 Juni 2023. Tampil sebagai pembicara KH. Achmad Labib SE., tokoh Nahdatul Ulama, Jawa Tengah, Dr. Nyana Suryandi Mahathera, dari Sekolah Tinggi Agama Budha Smaratungga, Boyolali, Jawa Tengah, Banthe Dammasubho Mahathera, pembina Sangha Theravada Indonesia yang juga dikenal Rumah Intelektual Religius Beriman, berlokasi di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan.
Hadir juga Wali Spiritual Indonesia, Sri Eko Sriyanto Galgendu selaku pendamping para Bhikku bersama sahabat dan kerabat GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia), Joyo Yudhantoro, Wowok Prastowo dan kawan-kawan Pewarna (Persatuan Wartawan Nasrani) Indonesia dari Jakarta.
Achmad Labib yang juga aktif sebagai motor penggerak Jamaah Kodariyah (Kopi Darat) memapar tiga pokok utama dalam penataan persaudaraan berdasarkan ikatan kesamaan agama, kesatuan bangsa dan atas dasar rasa kemanusiaan (Basyariah). Karena itu, hakikat persaudaraan adalah sebuah keniscayaan, tandas tokoh NU yang juga dikenal luas sebagai aktivis penggerak sosial kemasyarakatan di kawasan Candi Borobudur hingga Jawa Tengah sekitarnya.
Banthe Dammasubho Mahathera yang mengaku sebagai cendekiawan, bukan ilmuwan, menandaskan bila agama apapun namanya tak bisa dibanding-bandinkan, karena yang ideal agama itu hanya bisa disandingkan, agak dapat memberi manfaat bagi orang banyak dan tidak menimbulkan masalah bagi orang lain.
Atas dasar itulah Banthe percaya bahwa spiritual itu berada satu digit diatas saintis, tandasnya.
Adapun cara untuk mengatasi sikap radikal yang acap diresahkan oleh berbagai kalangan, menurut Banthe Dammasubho Mahathera yang selalu tampil dengan gayanya yang kocak dan jenaka, dapat diatasi dengan jalan tengah. Seperti dalam hakekat berpuasa untuk melatih ketahanan diri dengan seimbang. Tidak terlalu memanjakan dan tidak pula dengan cara menyiksa. Begitukah sikap moderasi. Dengan gaya bicaranya yang kocak dan jenaka, Banthe Dammasubho Mahathera tegas membedakan istilah kesetaraan tidak sama, atau lebih elegan dari istilah toleran.
Menurut Sri Eko Sriyanto Galgendu, Candi Brobudur sangat meyakinkan jika Candi Borobudur itu sebagai Mahkota dari Prabu Smaratungga, yang menandai masa kejayaan suku bangsa Nusantara pada abad ke-7 karena nilai-nilai spiritual yang melekat di dalamnya sangat sakral. Maka itu akan menjadi sangat ideal bila Candi Borobudur dapat dikukuhkan sebagai tempat ziarah spiritual dan pusat ibadah agama Buddha.
Pada masa kejayaannya Sriwijaya, pusat pendidikan yang bernama Smaratungga, menandai juga kedahsyatan budaya bangsa Nusantara seperti Candi Borobudur yang merupakan karya seni budaya anak bangsa yang sangat luar biasa.
Karya besar anak bangsa Nusantara seperti Borobudur menandai betapa dakhsyat budaya suku bangsa Indonesia yang pernah ditandai oleh kuatnya budaya Hindu dan Budha seperti kemegahan Candi Borobudur sebagai karya anak bangsa.
Karenanya, Candi Borobudur pantas untuk dijadikan pusat ziarah spiritual, bukan cuma sekedar obyek wisata budaya religius semata. Diskusi yang dipandu oleh Mister Pho alias Ponijan Liau mulai pukul 16.00 ini, berakhir hingga menjelang sholat magrib dengan kesepakatan untuk menata kawasan Candi yang dibangun oleh Raja Smaratungga dari dinasti Syailendra sebagai pusat ziarah spiritual bagi bangsa-bangsa di dunia.
Usai acara makan malam, Tim GMRI dan sahabat serta kerabat dari Posko Negarawan berkenan ramah tamah khusus dengan Sekretaris Jendral Walubi, Banthe Kanit Sannano Mahathera.
Dan sebelum mengikuti semua acara tersebut, GMRI dan sahabat serta kerabat dari Posko Negarawan melakukan ziarah ke makam Pangeran Joyo Lengkoro yang dipandu langsung RM. Budiono Setyonegoro dan Joyo Yudhantoro di Desa Begelen, Purworejo. (Jacob Ereste)