JAKARTA, Trenzindonesia | Suasana di ruang Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta, Jumat, 22/Desember ramai, meriah dan diwarnai oleh wajah wajah gembira ibu ibu paruh baya yang mengenakan ulos berbagai motif dan warna.
Padu padan antara ulos yang dikenakan sebagai kain, atau menghiasi bahu mereka, dengan busana yang mereka kenakan. Mereka saling bercerita mengenai ulos yang mereka miliki.
Peringatan Hari Ibu benar benar dinikmati ibu ibu yang hadir. Lagu lagu Batak berkumandang dibawakan dengan suara merdu dan kompak oleh group vokal ibu ibu yang tak kalah cantiknya.
Tepuk tangan pun meriah tatkala pengisi acara Marthalena Sinaga tampil ke panggung dan dengan bahasa yang akrab dan suara yang bernas Martha—Jurnalis, Penulis Pemerhati Kain Nusantara, dan Kolektor Ulos memaparkan mengenai ulos
.”Terus terang setelah saya melihat ibu-ibu dan sebagian bapak bapak mengenakan ulos dengan sangat antusias, kalau diberi kesempatan saya lebih memilih menulis mengenai ulos Angkola, Simalungun, Toba, Tarutung, Mandailing, dan seterusnya, semua ada. Karena apa, ulos ini kami perjuangkan pada tahun 2025 masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO,” ungkap Martha. disambut teriakan bahagia dan tepuk tangan membahana di ruang Indonesi Kaya.
Ulos merupakan kain tenun khas Batak. Awal mulanya ulos ini digunakan sebagai pakaian sehari-hari masyarakat Batak, namun belakangan dipakai saat acara adat.
Kain Ulos ini merupakan selembar kain tenun yang digunakan sebagai kerajinan oleh para wanita dengan pola dan aturan yang bervariasi.
Secara umum, pembuatan ulos itu sama, hal yang menjadi pembedanya adalah nama, corak atau motif, dan sifat kedudukan pemakaiannya yang perlu disesuaikan dengan jenis upacara adat ketika acara dilangsungkan.
“Pakaian ulos sekarang ada di mana mana. Bahkan para penggede kita mengenakan ulos ketika ada sidang IMF tahun 2018. Pada kala itu pejabat para pengambil keputusan kebijakan keuangan mendapatkan ulos hasil desain Torang Sitorus, satu persatu dapat semua. Banggakan. Apakah ulos bisa diberikan sebagai gift, tetapi pemakaian ulos tidak mudah untuk diterapkan,” papar Martha.
Ibu-ibu yang memenuhi tempat duduk ruangan Indonesia Kaya begitu asyik menikmati uraian dari Martha, penyampaian materinya sesekali mengundang ibu ibu itu tertawa. “Kalau rabu rabu atau rumbai di kain ulos makin banyak pertanda itu makin banyak rezekinya. Disinggung ulos kaitannya dengan rezeki tertawa semua. Kalau dengan kematian sepi,” ungkap Martha, disambut tawa.
Dijelaskan Martha, kain ulos yang dipotong menjadi baju, tidak bisa lagi disebut ulos. Begitu juga ulos yang dibuat dicetak secara massal bukanlah ulos, tapi kain atau baju bermotif ulos.
“Sejatinya ulos itu harus dibuat dengan cara ditenun karena ditenun dengan kesungguhan sepenuh jiwa dan sepenuh hati. Dalam terminologi Batak itu tondi. Jiwa,” ungkap Martha lagi.
Dalam hal mengenakan ulos terkadang ada kekeliruan, ulos untuk pria dipakai wanita, dan sebaliknya, untuk wanita dikenakan pria. “Perlu juga diperhatikan penempatan ulosnya. Bagi perempuan ulos harus dikenakan di sebelah kiri, dan lelaki di sebelah kanan. Maknanya lelaki itu imam, kanan adalah lambang kekuatan, maka lelaki meletakkan ulos ada di bahu kanan. Sedangkan dalam prosesi pernikahan ulos disampirkan di kedua bahu mempelai, yang disebut mangulosi,”jelas Martha.
Meski berdarah Batak, Marthalena Sinaga, dia tumbuh dewasa di tanah Melayu dan Jawa. Pesan orangtuanya di mana saja hidup, jangan sampai kehilangan akar budaya Batak. Bahkan dia menyimpan ratusan ulos saking cintanya pada tanah leluhurnya. Ada yang berusia ratusan tahun.
Apa yang sudah disampaikan Martha, rupanya belum memuaskan, karena rasa cinta dan keingintahuan ibu ibu lebih mendalam mengenai ulos. Sayang disayang keterbatasan waktu, tidak ada sesi tanya jawab.
Panitia dan Martha akan mempersiapkan acara khusus tanya jawab seputar ulos dalam waktu dekat. Respon ibu ibu yang hadir tinggi sekali.”Kapan, nih? Segera ya diadakan acara tanya jawab ulosnya,” celetuk ibu ibu, sambil berselfi ria dengan kain ulos dan selendang ulos. Horas! (Didang)