Shenina Cinnamon, Arswendy Bening dan Yulia
Evina Bhara Hadiri World Premiere “Tale of the Land” di Busan International
Film Festival 2024
Busan-KorSel, Trenzindonesia | Film debut sutradara Loeloe Hendra berjudul “Tale of the Land”, produksi KawanKawan Media, resmi tayang perdana (world premiere) di Busan International Film Festival (BIFF) 2024 dalam program New Currents.
Penayangan perdana film ini berlangsung pada 4 Oktober 2024, dihadiri oleh sutradara Loeloe Hendra bersama produser Yulia Evina Bhara dan Amerta Kusuma, serta para pemeran utama: Shenina Cinnamon, Arswendy Bening Swara, dan Yusuf Mahardika.
Setelah pemutaran film, dilangsungkan sesi Q&A antara sineas dan pemain dengan penonton, yang menambah pengalaman mendalam bagi audiens. Shenina Cinnamon, pemeran karakter May, berbagi cerita tentang pengalamannya kembali ke BIFF untuk ketiga kalinya setelah membintangi “24 Jam Bersama Gaspar” (2023) dan “Penyalin Cahaya” (2021). Yang menarik, dalam film ini Shenina menggunakan bahasa Kutai, sebuah bahasa yang jarang terdengar di layar lebar. Syuting film ini sebagian besar dilakukan di atas air di Kota Bangun, Kalimantan Timur, yang menambah keunikan dan keotentikan cerita.
Shenina menyatakan bahwa perannya sebagai May terasa seperti takdir yang menyatukannya dengan karakter tersebut. “Koneksi antara karakter dan aktor adalah hubungan yang memang sudah ditakdirkan. Ketika sebuah karakter ditawarkan kepada saya, saya benar-benar percaya tawaran tersebut hanyalah bagian terakhir dari diskusi kreatif yang panjang antara sutradara dan produser. Saya selalu berusaha untuk menghargai kepercayaan tersebut dengan memberikan semua yang saya bisa,” ujar Shenina.
“Tale of the Land” bercerita tentang seorang gadis Dayak bernama May, yang diperankan oleh Shenina. Ia dihantui trauma atas kematian orangtuanya akibat konflik tanah, yang membuatnya tidak berani menginjakkan kaki di daratan. May tinggal bersama kakeknya, Tuha (diperankan oleh Arswendy Bening Swara), di rumah terapung yang jauh dari tanah. Sang sutradara, Loeloe Hendra, menggambarkan karakter May sebagai alegori yang merefleksikan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat di seluruh dunia, di mana tanah air mereka terus berubah akibat tekanan modernisasi.
Loeloe Hendra menjelaskan bahwa film ini menggunakan genre fantasi untuk menyampaikan realitas dengan cara yang unik. “Di Kalimantan, bentang alam yang indah hidup berdampingan dengan penggundulan hutan yang masif, dan masyarakat adat tercekik antara tradisi dan modernitas. Melalui genre fantasi, saya ingin menciptakan dunia di mana karakter saya berkembang dalam ketegangan antara keajaiban dan kenyataan, antara logika dan fantasi, serta antara daratan dan air,” ungkapnya.
Film ini juga menandai kali pertama Shenina Cinnamon dipasangkan dengan aktor Angga Yunanda, serta menjadi reuni bagi Shenina dan Arswendy setelah film “Badrun & Loundri” (2023). Pada rangkaian acara BIFF 2024, Shenina Cinnamon dan Yusuf Mahardika akan menjadi presenter di acara penghargaan Asia Contents Awards & Global OTT Awards 2024. (Da_Bon/Fjr) | Foto: Istimewa