Jakarta, Trenz Corner | Bioskop XXI adalah bioskop Amerika. Dibuat oleh orang Amerika, untuk kepentingan industri film Amerika. Dan, jaringan bioskop tersebut sudah menggurita di Indonesia. Ketika film Indonesia diputar di sana, itu artinya film Indonesia ya numpang tayang di jaringan bioskop Amerika tersebut.
Loetoeng Kasaroeng adalah film pertama yang diproduksi di Indonesia. Film bisu ini dirilis pada tahun 1926 oleh NV Java Film Company. Artinya, industri film di tanah air sudah bermula sejak lama. Sementara, Bioskop pertama di Indonesia berdiri pada Desember 1900, di Jalan Tanah Abang I, Jakarta Pusat. Artinya, bioskop sudah ada 26 tahun, sebelum film Loetoeng Kasaroeng diproduksi.
Tapi, gedung film sebagai bagian penting dari industri film, tiarap satu per satu. Yang merajai kini ya jaringan bioskop Amerika tersebut. Di jaringan bioskop Amerika itu, film Indonesia boleh dikata ya sekadar selingan doang. Karena itulah, dibutuhkan bioskop independen, di luar jaringan Bioskop XXI. Tujuannya tentu saja untuk memutar film Indonesia, untuk menampung gairah industri film nasional.
Bioskop independen yang demikian, memang ada, tapi jumlah yang masih tersisa, sangat terbatas. Antara lain, Dakota Cinema yang ada di Cilacap, Kroya, Jawa Tengah, dan di Sengkang, Sulawesi Selatan. Pemiliknya adalah Djonny Syafruddin, yang memang memiliki perhatian pada industri film nasional.
Menurut Djonny Syafruddin, wilayah Kecamatan dan Kabupaten adalah kantong-kantong penonton film nasional. Penonton film nasional terkonsentrasi di area itu. Dari pengalamannya mengelola bioskop di beberapa wilayah Kecamatan dan Kabupaten, animo warga untuk menonton film nasional, relatif bagus.
Jika kita telusuri ke belakang, di masa lalu, bioskop memang banyak dan ramai penontonnya di wilayah Kecamatan dan Kabupaten. Cahyana Theater, misalnya. Itu satu-satunya gedung bioskop di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, yang kini sudah tutup. Lokasinya di Jalan Komisaris Suprapto, jalan utama Kabupaten itu.
Demikian pula dengan Bioskop Permata, salah satu pelopor tempat masyarakat Yogyakarta menghabiskan waktu untuk menonton film, sejak zaman Belanda. Kini Bioskop Permata hanya tinggal nama. Lokasinya di Jalan Sultan Agung, yang merupakan salah satu jalan utama di Kota Yogyakarta.
Di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur, ada 3 bioskop. Pertama, Bioskop Irama yang letaknya berada di sisi timur Monumen Arek Lancor. Kedua, Bioskop Jaya yang berada di Jalan Trunojoyo. Dan, yang ketiga adalah Bioskop Maduratna yang terletak di Jalan Diponegoro. Ketiganya pun kini sudah tidak aktif lagi.
Begitulah nasib bioskop yang pada masanya pernah berjaya. Beberapa contoh di atas sebagai cerminan nasib bioskop di banyak wilayah di tanah air. Saat ngobrol dengan John De Rantau, sutradara film yang juga alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ), ia mempertanyakan, kenapa Taman Budaya atau Pusat Kesenian yang ada di seluruh provinsi, tidak dilengkapi dengan bioskop. Padahal, film adalah salah satu karya seni yang tumbuh subur di Indonesia dan sejak tahun 1926 film sudah diproduksi di Indonesia.
Berharap pada jaringan bioskop Amerika untuk memajukan industri film nasional, tentu tidak pada tempatnya. Mendirikan bioskop di berbagai Pusat Kesenian untuk mendistribusikan film nasional, bisa menjadi salah satu solusi.

Dalam hal pendirian bioskop itu, DjonnySyafruddin menghimbau agar pemerintah memberikan perhatian untuk beberapa hal. Di antaranya, kredit lunak untuk pembangunan bioskop, keringanan pajak, serta keringanan tarif dasar listrik.
Bukankah industri film nasional adalah bagian dari industri kreatif? Bagian dari ekonomi kreatif? Dan, bukankah pemerintah memang berkeinginan memajukan industri kreatif secara nasional? (Isson Khairul) | Video: Isson; Foto: Fajar & Google.co.id