Memaknai puisi, mendendangkan lagu
YOGYA, Trenz Music | Kepergian atau pergi entah dalam kondisi apapun berarti dua entitas yang terpisah oleh jarak, waktu ataupun ego dari masing-masing tokohnya. Kepergian pasti menyisakan rindu yang menyeret ketepian batas tipis antara marah/kecewa dan rasa sayang. Kenapa semua melulu tentang cinta? Ya, ini adalah apresiasi dari sajak ke tiga kumpulan puisi karya Heru Achwan yang di tuangkan kedalam lagu oleh Heri Machan dalam project musikal inteprestasi sajak-sajak puisi cinta. Tidak jauh beda dengan dua puisi terdahulu yang telah dirilis dalam bentuk lagu berjudul; Menepi dan Cinta Secangkir Kopi. Puisi ketiga ini menggambarkan kisah saat seseorang ditinggal pergi oleh pasangan nya (sepertinya begitu). Drama yang mengikuti dibelakangnya itulah yang di susun dalam potongan fragmen yang sarat dengan dialektika batin serta ungkapan hati kedalam empat frasa bait-bait puisi. Tidak juga mudah sepertinya untuk memutuskan irama atau beat yang bagaimana agar si lagu mampu mewakili dan membawa makna dari pesan syair si puisi. Musik bisa berdiri sendiri dengan segala kesombongannya, namun mengawal si pelantun agar bebas ber-eksplorasi melafalkan kosa kata yang bermuatan sastrawi juga dibutuhkan kesadaran obyektifitas yang sangat kompromis. Menghindari agar tidak terjebak dalam kegalauan yang akut saat menerjemahkan syair tersebut maka tensi tempo dan irama dicoba dibikin lebih nge-beat sedari awal lagu. Ketika progress kord digelar pada lingkungan minor, nada-nada vocal mengartikulasikan runtutan text yang sedikit rapat menjadikan nuansa agak riang, sementara makna text bicara tentang pergejolakan hati.
Pembicaraan yang berlagak teknis musikal dan berkesan filosofis ini adalah bentuk kegugupan yang kadang sering muncul ketika sebuah puisi yang sudah selesai ditulis utuh oleh penyairnya lalu dicoba dituangkan kedalam lagu tanpa harus saling mendominasi satu sama lain. Sewaktu mendapati pola frasa kalimat yang tidak kompatibel antara setiap paragraf disitulah sering terjadi konflik batin dari si musisi. Pada fragmen ke tiga, nuansa di paksa untuk masuk ke aksen irama 6/8 dengan pola bernyanyi yang mirip dengan resital paduan suara, namun pada syair itulah inti dari seluruh gejolak puisi terungkap. “Tak perlu pura-pura bahagia, matamu telah bercerita duka dan senyummu melukiskan luka”. Banyak musisi sering memberi istilah bagian tersebut bernama Bridge. Membayangkan sebuah jembatan (bridge) untuk menyeberangi suasana galau yang distopia menuju utopis saat janji yang akan terucap muncul di fragmen terakhir yang berbunyi ; “Ulurkan tangan dan genggam erat jemariku kuantar kau menuju cahaya dan pergilah dalam bahagia. Kalau suatu saat nanti kau kembali, kau tau dimana mencariku“. Dibagian akhir ini irama dikembalikan ke tempo 4/4 dengan ritme mirip shuffle groove ke disko-diskoan era 80. lagu ditutup dengan permainan melodi gitar menuju fade out dengan sound yang nyaris sewarna dengan gaya Carlos Santana, Itu menurut sang Music Director, Adi Pamungkas. Cara Amy Lee menyanyikan keseluruhan lagu nampak berusaha menyatu dan menghayati isi makna syair puisi tersebut, tanpa peduli teknik vocal seperti apa yang akan digunakan dan cukup berhasil membawa emosi puisi kedalam lagu.
Agar nyambung dengan tulisan yang bergaya filosofis ini ijinkan saya mengutip quotes dari jawara filsafat yang sangat kontroversial, Rocky Gerung. Dia bilang begini, “Senja mengantarkan rindu pada pilihan, menempuh malam atau menyesali perbuatan”
Tabik, salam budaya
Jogja, Maret 2022
Heri Machan
Kepada Yang Pasti Pergi
Selalu kekawatiran atas dirimu datang
Seperti janji angin malam pada pucuk cemara
Bertiup pergi, dan datang lagi
Walaupun perjalanan hati telah menempamu menjadi tangguh
Kecemasanku atas dirimu tak juga hilang
Karena kau adalah obsesi kehilangan ku, masa lalu
Tak perlu pura-pura bahagia
Matamu telah bercerita duka
Dan senyummu melukiskan luka
Ulurkan tangan dan genggam erat jemariku
Kuantar kau menuju cahaya dan pergilah dalam bahagia
Kalau suatu saat nanti kau kembali
Kau tau dimana mencariku.
– Heru Achwan –