YOGYAKARTA, Trenzindonesia | Musik rock di Jogja khususnya, belakangan ini terutama pasca pandemi covid 19 melandai pada akhir tahun 2022 lalu, perlahan tapi pasti menggeliat seolah-olah ingin menyusup masuk dalam simpulsimpul skena musik yang semakin dinamis di ruang interaksi kreatif era milenial sekarang.
Pengelompokan generasi dalam pemetaan kultur sosial yang sering menjadi fokus penggalian data dalam kepentingan industri global juga bukan menjadi penghalang besar dalam suatu proses kretifitas bersama yang melibatkan lintas generasi dan lintas skena.
Adalah forum komunitas di Jogja yang menamakan dirinya Classic Rock Yogyakarta disingkat CRY, komunitas yang tergolong baru didirikan sekitar bulan April 2023 lalu. Namun didalamnya berkumpul para praktisi musik, penikmat dan pengamat seni budaya yang ikut membangun dialektika terhadap perkembangan musik rock pada khususnya dan seni budaya pada umumnya.
Mereka bukan wajahwajah baru di dunia seni budaya Yogyakarta. Sebagian dari mereka adalah tokoh yang boleh disebut senior dalam khasanah dunia musik di Jogja. CRY sejak pra deklarasi telah menginisiasi dan merelisasikan program yang bersifat apresiasi musik dalam bentuk pementasan di beberapa venue, antara lain Kangen Rock, 20 Maret 2023 di Ascos Tirtodipuran Yogyakarta, Syawalan Rock, di Warung Tik Tok gejayan, 14 Mei 2023, Rock Pitulasan, di Erqoss Space & Eatery, jalan Damai pada tanggal 18 Agustus 2023 yang menginisiasi program rutin bulanan bertajuk Age Of Rock #1, 28 September 2023 dan Age Of Rock #2, 27 Oktober 2023 lalu.
Selain itu CRY juga ikut berpartisipasi dalam program dari Dinas Pariwisata Provinsi DIY yang berjudul Sound Of Destination #2 di Kawasan wisata Watugoyang, Mangunan Bantul 23 September 2023.
Selama proses itu berlangsung, CRY mendapat animo yang cukup tinggi dari masyarakat pecinta music serta beberapa individu yang memiliki kewenangan dalam hal kebijakan yang masuk dalam lingkup pariwisata dan kebudayaan di Yogyakarta khususnya.
Pengurus CRY dengan pro aktif membangun dialektika dan komunikasi dalam memposisikan musik rock dari historikal kultur serta jejak rekam saat musik rock menjadi bagian dari dinamika sosial khususnya generasi muda saat itu dengan beragam ekspresinya di panggung-panggung pertunjukan yang marak pada masanya.
Lalu ketika selama hampir dua dekade berselang, wajah dunia musik serta pola apresiasinya mengalami transformasi yang cukup mendasar, terutama ketika perkembangan tekologi digital sudah mulai masuk kesegala aspek kehidupan kita. Maka kerinduan terhadap suasana ber kreatifitas dan bercengkrama musik masa lalu semakin menguat dan membutuhkan ruang silaturahmi dan interaksi yang “analog” atau oldschool (vintage).
Musik rock konon dulu menawarkan sajian visual yang kuat disamping audio. Visual dalam hal ini adalah ruang pentas dan penanganan panggung serta artistiknya agar bisa mendukung tema serta menguatkan perform diatas panggung. Maka dititik itulah proses kolaborasi dan pemahaman aspek produksi lintas disiplin kreatif mulai dibangun. Sudah menjadi wacana umum bahwa urusan produksi musik itu urusan para penyelenggara acara atau “Event Organiser”. Dan para musisi (artist) taunya beres dan bisa main dengan prima. Pada skema industri di level kapital besar memang demikian, namun dalam semangat komunitas dan pergerakan kreatif berkesenian hal tersebut berpotensi membentuk gap lebar yang memisahkan antara golongan penggiat (acara) musik dengan golongan yang ngartis dan pada akhirnya mereka tidak mampu mewujudkan visi misinya lalu gagal menawarkan konsep kreatif apa yang dimiliki oleh sekelompok komunitas.
Itu adalah persoalan klasik dibalik gemerlapnya panggung-panggung musik dengan segala label keartisannya. Sementara itu, produksi gelaran pertunjukan harus diakui adalah aktifitas yang membutuhkan effort yang kuat disamping ide-ide gagasan yang cemerlang serta modal besar tentunya. Komunitas adalah ruang interaksi, tempat sharing pengalaman berbagi ilmu, meminjam istilah seorang rekan pengamat budaya (Edo Nurcahyo). Bahwa komunitas musik khususnya CRY adalah ruang Laboratorium. Tempat bertemunya ide-ide gagasan segar dan liar, ruang dimana ditumpahkan segala kegelisahan sosial serta upaya mengkalkulasi seluruh aspek persoalan teknis termasuk dukungan tehnologi mutakhir didalamnya.
Kami tidak ingin terjebak dalam wacana bahwa dunia musik adalah elemen hiburan yang dituntut harus tampil eksotis dan indah untuk disajikan kepada pihak yang membeli atau masyarakat yang haus hiburan belaka. Suka atau tidak, persoalan didalam dunia musik yang di glorifikasi sedemikian rupa selalu terdistorsi dengan orientasi yang melulu material plus hedonisme. Dan kerap kali lepas dari visi misi bahwa seni musik itu memiliki potensi dan kontribusi besar terhadap perkembangan peradaban suatu bangsa termasuk nilai-nilai budaya dan sosial didalamnya.
CRY melalu acara November Gain Rock Umbulharjo yang digelar secara megah di Plaza XT Square di jalan Veteran Yogyakarta 11 November 2023 lalu, adalah salah satu upaya dari pengurus komunitas untuk mewujudkan gagasan bahwa musik rock yang dimainkan diatas panggung dengan penanganan teknis yang tepat, bisa membangkitkan atau boleh disebut menghidupkan kembali ambiens pentas musik classic rock masa lalu. Sehingga bisa memuaskan dahaga dari para penikmat musik rock yang selama ini sepertinya jarang mengalami peristiwa tersebut.
Dalam acara itu juga menampilkan sesi talkshow selama satu jam diatas panggung. Menghadirkan narasumber anggota dewan mewakili aspek legislatif, pejabat dinas pariwisata selaku wakil eksekutif dan budawayan mewakili aspirasi masyarakat seni budaya pada khususnya. Pembahasan berkisar menegenai peran legislatif dan eksekutif dalam suatu peristiwa seni dan budaya serta mekanisme dalam mengakses anggaran dana istimewa untuk kepentingan suatu apresiasi dalam masyarakat yang termasuk didalamnya suatu komunitas seni dan budaya.
Dengan didukung oleh Dinas Pariwisata Provinsi DIY dengan rekomendasi dari tokoh legislatif dari dewan provinsi, maka akses memperoleh Dana Keistimewaan menjadi memungkinkan.
Membangun semangat kolektifitas dengan mengajak peran aktif para stake holder berpengalaman dan kampiun di dunia pertunjukan Jogja seperti Blass Group.
Satu catatan penting adalah bahwa, semua ini adalah proses pembelajaran bersama bagi komunitas dengan menghindari pola pendekatan yang melulu transaksional. Kami ingin membangun kesadaran bahwa setiap elemen dalam fungsi nya masingmasing itu menjadi bagian yang penting dalam merealisasikan suatu gagasan. Dan bisa dikatakan semua unsur sumber daya komunitas itulah modal utama disamping dukungan modal dari lembaga terkait.
Mengakhiri tulisan ini ijinkan saya mengutip quotes dari tokoh filsuf terkenal Friedrich Nietzsche yang berkata begini “Without music life would be a mistake”
Tabik, salam budaya
Jogja, 15 November 2023
Heri Machan
[ Musisi/Penggiat Seni ]