Trenz Indonesia
News & Entertainment

Jakob Oetama: Meresapi Komitmen Ke-Entrepreneur-an

609

Minggu, 16 Oktober 2011 | 23:21 WIB, kompas.com memberitakan Dr (H.C) Jakob Oetama terima Ciputra Award. Penghargaan itu dianugerahkan kepada Jakob Oetama atas komitmennya terhadap keentrepreneuran untuk masa depan bangsa, melalui media Kompas yang dipimpinnya. Inilah komitmen yang sejati sebagai sebuah komitmen.

Baca juga: Dunia Pers Berduka! Pendiri Kompas Gramedia jakob Oetama Wafat

Kita bisa merunutnya ke belakang, dimulai dari 7 Agustus 1963, saat pertama kali terbitnya majalah bulanan Intisari yang dikelola oleh P.K. Ojong dan Jakob Oetama. Auwjong Peng Koen atau Petrus Kanisius Ojong atau yang lebih dikenal PK Ojong sebelumnya juga mengelola majalah berbahasa Inggris Star Weekly, sedangkan Jakob Oetama mengelola majalah Penabur.

Kisahnya, begini. Jenderal Ahmad Yani menginginkan adanya surat kabar yang berimbang, kredibel, dan independen mengingat kisruhnya situasi politik di tahun 60-an. Keinginan itu ia sampaikan kepada Frans Seda, yang saat itu duduk di kabinet sebagai Menteri Perkebunan.

Frans Seda kemudian meneruskan keinginan sang jenderal itu kepada dua sahabat dekatnya, P.K. Ojong dan Jakob Oetama. Selanjutnya, Frans Seda berjuang mengumpulkan 5.000 tanda tangan untuk memenuhi syarat surat izin penerbitan sebuah koran ketika itu. Modal terbitan pertama koran Kompas sebesar Rp 100.000,- bersumber dari hasil penjualan bulanan Intisari.

Tepat 28 Juni 1965, koran Kompas terbit untuk pertama kali dengan total tiras 4.800 eksemplar. Kala itu Kompas terbit sebagai surat kabar mingguan dengan hanya delapan halaman. Perlahan-lahan, koran Kompas terbit empat kali seminggu, kemudian menjadi harian.

Tahun 1967, tiras koran Kompas sudah mencapai 30.650 eksemplar. Meskipun bermula dari orang-orang Partai Katolik, sejak awal, PK Ojong dan Jakob sepakat minta agar harian Kompas tetap independen. Sebab, menurut keduanya, hanya koran yang independenlah yang akan bisa berkembang dari sisi bisnis maupun redaksionalnya.

Apa yang mereka katakan 46 tahun yang lalu itu, setidaknya telah terbukti dan teruji hingga hari ini. Komitmen PK Ojong dan Jakob untuk tak duduk sebagai petinggi partai politik, sebagai bagian untuk menjaga independensi, adalah sebagian dari bukti tersebut. Dengan komitmen penuh, PK Ojong (lahir di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, 25 Juli 1920 dan meninggal di Jakarta, 31 Mei 1980) dan Jakob (lahir di Borobudur, Magelang, 27 September 1931) menakhodai koran Kompas yang belakangan dikenal sebagai grup Kompas Gramedia.

Jumlah dan jaringan penerbitan grup ini terus tumbuh dan bertambah. Bisnis grup ini juga merambah ke bidang di luar bidang media, antara lain, perhotelan dan pendidikan. Semua itu menunjukkan komitmen keentrepreneuran yang tinggi.

Dan, dengan spirit entrepreneur yang sejati, Kompas Gramedia menyambut era internet serta teknologi digital sebagai peluang, bukan sebagai ancaman. Di awal kehadiran Kompas di internet, pembaca dengan leluasa mengakses konten koran ini dalam versi teks dengan arsip 7 hari ke belakang. Kemudian, sejalan dengan berkembangnya internet, era Koran Digital mulai populer pada tahun 1982.

Gelombang informasi yang bertiup kencang adalah media cetak akan segera punah dihantam badai Koran Digital. Era ini muncul sebagai bentuk perkembangan teknologi komunikasi dan sekaligus menjawab kebutuhan konsumen yang membutuhkan persebaran informasi yang cepat, mudah, dan instan.

Bagaimana Kompas menyikapinya? Grup Kompas Gramedia justru menjadi salah satu koran nasional yang mempelopori berkembangnya koran digital, dimulai dengan Koran Kontan dalam bentuk digital pada 2 Juli 2008. Hari berikutnya, giliran Kompas membuat koran digital Kompas. Sekarang, dengan gamblang dan full digital, pembaca bisa leluasa menikmatinya. Ada kompas cetak, kompas.com, dan kompas e-paper.

Sebagai perbandingan, di edisi 14 Oktober 2011, kompas cetak menampilkan 117 konten, kompas.com 372 konten, detik.com 330 konten, inilah.com 295 konten, okezone.com 364 konten, tempointeraktif.com 132 konten, dan vivanews.com 154 konten. Meskipun yang saya tampilkan di sini hanya contoh 1 hari, tapi secara rata-rata per hari dari beberapa hari yang saya cermati, untuk versi online, jumlah konten kompas.com lebih banyak dibanding media online yang lain.

Tak hanya banyak dalam jumlah, pelayanan Kompas terhadap konsumen, juga maksimal. Dengan biaya langganan Rp 50.000.- per bulan, konsumen dari seluruh penjuru dunia dengan leluasa mengakses kompas cetak dan kompas e-paper. Semua proses registrasi dan pembayaran dengan mudah dilakukan secara online.

Bandingkan, misalnya, dengan grup Tempo yang memiliki Koran Tempo dan Majalah Tempo. Sebelumnya, pembaca bisa berlangganan dengan membayar pakai pulsa seluler senilai Rp 10.000.- per 7 hari. Tapi, belakangan, pembaca hanya bisa membaca sebagian dari tiap konten, dan jika ingin membaca tiap konten secara utuh, ada pengumuman berikut: “Nikmati tulisan lengkap artikel ini pada versi cetak dan versi digital majalah Tempo” Silakan hubungi customer service kami untuk berlangganan edisi cetak di 021-5360409 ext 9. Silakan hubungi Pusat Data Analisa Tempo untuk mendapatkan versi arsip dalam bentuk PDF, di 021-3916160.

Sikap setengah hati dan malu-malu memasuki era digital seperti itu, menurut saya, menunjukkan bahwa grup Tempo tidak menempatkan era digital sebagai peluang, tapi justeru memandangnya sebagai hambatan. Padahal, tempointeraktif.com jauh lebih dulu hadir di dunia maya dibandingkan dengan kompas.com.

Ini tentu bukan karena mereka tak paham akan pentingnya peran era digital, tapi lebih menyangkut pada pertimbangan serta pilihan menyongsong need konsumen yang memang sudah kecanduan internet serta membutuhkan informasi yang cepat, mudah, dan instan.

Dalam hal ini, jelas sekali betapa keberanian untuk berinovasi, sebagai salah satu elemen penting spirit entrepreneur, sangat menonjol pada diri Jakob Oetama. Sebagai lokomotif Kompas-Gramedia, Jakob tampil sebagai visioner. Pilihan untuk terdepan di era digital, jelas membutuhkan investasi yang tak sedikit.

Dan, semua itu sungguh memiliki resiko. Jakob bukan tak paham akan hal itu. Ia pernah mengibarkan bendera TV-7 untuk meraup peluang di media televisi. Tapi, semua impian itu buyar yang berujung dengan dilegonya stasiun televisi tersebut ke Trans TV.

Trauma kah Jakob dengan media TV? Ternyata, tidak. Tak lama berselang, Kompas-Gramedia meluncurkan Kompas TV, dengan strategi bisnis yang berbeda dengan stasiun tv yang ada. Kompas TV menjalin kerjasama dengan sejumlah stasiun tv lokal di berbagai kota di tanah air.

Konten program pun dirancang sedemikian rupa agar tampil unik hingga bisa menjadi alternatif bagi pemirsa di tanah air. Selain itu, brand Kompas diacungkan tinggi-tinggi untuk meraih perhatian khalayak yang selama ini sudah loyal kepada Kompas.

Keberanian untuk terus berinovasi tersebut, makin menunjukkan komitmen Jakob Oetama sebagai entrepreneur. Kegagalan tak membuatnya mati langkah. Strategi makin dipertajam, armada makin diperkuat, untuk meraih peluang yang ada di depan.

Dan, kedekatan dengan publik dieksekusi dengan sungguh-sungguh, dengan memaksimalkan teknologi digital. Untuk itu, Kompas-Gramedia membuka sebanyak mungkin saluran agar senantiasa terhubung dengan berbagai lapisan masyarakat.

Kompasiana ini, misalnya. Ini adalah saluran besar untuk menghimpun massa dari berbagai lapisan agar terhubung dengan Kompas-Gramedia. Mulai dari ibu rumah tangga sampai politikus ternama, berhimpun di wadah ini. Semua saling berbagi dengan leluasa. Mereka yang sehari-hari secara organik berkarir di grup Kompas-Gramedia juga berhimpun di kompasiana.

Makna service yang sesungguhnya dieksekusi Jakob Oetama sebagai entrepreneur sejati. Publik dengan leluasa memosting tulisan dalam berbagai bentuk dan versi di wadah ini. Sesama penghuni kompasiana juga leluasa berinteraksi. Dengan demikian, konten berdatangan dengan deras ke wadah ini. Sungguh, langkah yang strategis.

Sebagai penutup catatan ini, saya kutipkan petikan Mochtar Pabottingi, Profesor Riset LIPI, Minggu, 16 Oktober 2011 | 02:50 WIB, Jakob sebagai Bintang Loda, yang mengulas biografi Jakob Oetama. Biografi Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jakob Oetama setebal 659 halaman ini dirampungkan St. Sularto dalam tempo hanya dua setengah bulan, yang lagi-lagi membuktikan etos kerja keras grup Kompas Gramedia. Inilah petikan dari Mochtar Pabottingi:

Saya kira ini adalah buku pertama yang menampilkan sosok Jakob Oetama (JO) secara komprehensif-sebagai pribadi yang utuh. Di sini, kita tak akan luput menangkap sosok yang selalu tahu diri dan rendah hati, tetapi sekaligus memiliki keberanian-keyakinan untuk tiap kali menerima tantangan dan, dengan itu, melangkah maju. Begitu pula kesantunan dan pemuliaannya kepada manusia-kemanusiaan beserta karya-karya luhurnya. JO yakin bahwa budaya baca tak akan surut sebab adalah kepandiran besar jika orang tak meraih “what others have labored hard for“.

17-10-2011
Salam dari saya @issonkhairul
Persatuan Penulis Indonesia
[Tulisan saya pada 17 Oktober 2011 di kompasiana.com]

Leave A Reply

Your email address will not be published.