Tantangan Kejahatan Siber di Indonesia
Jakarta, Trenzindonesia.com | Gelombang kejahatan siber di Indonesia kian mengkhawatirkan seiring pesatnya perkembangan teknologi digital. Dari penipuan daring, peretasan data pribadi, hingga penyebaran hoaks yang berpotensi memecah belah bangsa, ancaman di ruang siber kini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah, aparat, dan seluruh elemen masyarakat.
Untuk membahas masalah ini secara mendalam, Forum Penggiat Investigasi Nasional bersama Komite Investigasi Negara menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Membedah Peraturan dan Kejahatan Siber di Indonesia”. Acara yang berlangsung di Jakarta ini menghadirkan narasumber Arief Wahyudin, praktisi hukum sekaligus penggiat investigasi nasional, serta Michael, Ketua Indonesia Cyber Troop Community.
FGD dibuka oleh Marsdya TNI (Purn) Wresniwiro, Wakasau TNI AU periode 2006–2007. Dalam sambutannya, ia menegaskan pentingnya menghidupkan kembali semangat kebangsaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan NKRI. “Semangat kebangsaan bukan hanya slogan, tapi harus diwujudkan dalam sikap dan tindakan nyata,” ujarnya, sambil mengingatkan bahaya provokasi dan hoaks yang mengancam kerukunan bangsa.
Data BSSN: 400 juta anomali siber pada 2024

Mengutip data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Arief Wahyudin memaparkan bahwa sepanjang 2024 terdeteksi sekitar 400 juta anomali trafik siber. Penipuan daring menjadi jenis kejahatan yang paling dominan, menyumbang lebih dari 50% laporan ke Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri.
Menurut Arief, kerangka hukum Indonesia untuk menangani kejahatan digital sebenarnya sudah tersedia, antara lain:
- UU ITE No. 11 Tahun 2008 yang direvisi dengan UU No. 19 Tahun 2016
- UU Perlindungan Data Pribadi No. 27 Tahun 2022
- Dukungan aturan dari KUHP, Kominfo, dan peraturan teknis lainnya
Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi hambatan, seperti kompleksitas yurisdiksi lintas negara, keterbatasan SDM penegak hukum di bidang forensik digital, multitafsir pasal-pasal UU ITE, rendahnya literasi digital masyarakat, serta lemahnya standar keamanan siber di sektor publik maupun swasta.
Lima langkah strategis perkuat pertahanan siber
Arief merekomendasikan langkah strategis untuk memperkuat pertahanan siber nasional, antara lain:
- Revisi komprehensif UU ITE untuk menghindari pasal karet dan menjamin kebebasan berekspresi yang sehat.
- Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum melalui pelatihan dan kerja sama internasional.
- Penguatan literasi digital lewat pendidikan formal dan kampanye publik.
- Kolaborasi internasional termasuk perjanjian ekstradisi dan pertukaran intelijen siber.
- Standarisasi keamanan siber di seluruh institusi pemerintah dan korporasi strategis.
Kejahatan siber makin beragam dan kompleks

Michael, Ketua Indonesia Cyber Troop Community, menegaskan bahwa perang melawan kejahatan siber tak cukup mengandalkan regulasi. Dibutuhkan kesadaran kolektif, inovasi teknologi, dan kolaborasi lintas sektor. Ia memetakan sejumlah ancaman serius, seperti:
- Phishing dan penipuan daring yang memicu kebocoran data dan kerugian finansial
- Peretasan (hacking) yang merusak reputasi dan mengganggu layanan publik
- Malware dan ransomware yang melumpuhkan operasional dan ekonomi
- Pencurian data pribadi (data breach) untuk dijual di dark web
- Ujaran kebencian dan pencemaran nama baik yang memicu konflik sosial
- Perdagangan ilegal dan eksploitasi seksual daring, termasuk pornografi anak, prostitusi online, cybersex, dan sextortion
Michael juga menekankan pentingnya peningkatan literasi digital masyarakat melalui FGD, pelatihan, dan program edukasi. “Pertumbuhan pengguna internet di Indonesia sangat pesat. Kita harus menciptakan ekosistem digital yang aman, berdaulat, dan inklusif,” ujarnya.
Acara ini turut dihadiri Mayjen TNI (Purn) Bambang SB, pendiri KIN RI; Ir. Eddie K. Piyoto; M. Arief Mulyono, pendiri KIN RI; serta sejumlah tokoh investigasi lainnya.
