Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI), Rasminto
Jakarta, Trenzindonesia.com | Jakarta kini tengah bertransformasi menuju kota global, namun di balik modernisasi itu, muncul kekhawatiran akan memudarnya jati diri Betawi sebagai tuan rumah di tanahnya sendiri. Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI), Rasminto, menegaskan bahwa penguatan Lembaga Masyarakat Adat Betawi menjadi kunci utama menjaga eksistensi budaya Betawi di tengah arus globalisasi ibu kota.
Hal itu disampaikan Rasminto dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Jakarta Pasca Tidak Menjadi Ibu Kota” yang digelar oleh DPP Persatuan Masyarakat Jakarta (Permata) di Hotel Mega Anggrek, Jakarta Barat.
“Jakarta dengan visi sebagai kota global jangan sampai kehilangan akar budayanya. Lembaga masyarakat adat Betawi harus diperkuat secara hukum agar bisa berperan nyata, bukan hanya sekadar simbol tradisi,” ujar Rasminto.
Menurut pakar geografi manusia tersebut, keberadaan lembaga adat Betawi yang diakui secara hukum akan menjadi pilar strategis dalam menjaga, melestarikan, sekaligus mengembangkan nilai-nilai luhur masyarakat Betawi di tengah derasnya modernisasi.
“Kalau lembaga adat ini diakomodasi dalam aturan hukum daerah, maka ia akan menjadi pilar strategis untuk melestarikan identitas Betawi,” katanya.
Dorongan Revisi Perda DKI Nomor 4 Tahun 2015

Rasminto menilai, Peraturan Daerah DKI Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi perlu segera direvisi karena belum memuat pengakuan formal terhadap lembaga adat Betawi. Padahal, lembaga tersebut berpotensi menjadi mitra strategis Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam pelestarian budaya, pemberdayaan masyarakat adat, hingga diplomasi budaya.
“Kelembagaan adat merupakan bagian penting dari tata kelola sosial. Ia juga berfungsi memperkuat identitas dan solidaritas masyarakat Betawi di tengah tantangan zaman,” tegasnya.
Selain itu, ia menekankan pentingnya sinkronisasi antara Perda Betawi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Sinkronisasi tersebut, menurutnya, harus menegaskan ekosistem budaya yang meliputi pelaku, lembaga, dan pranata adat.
“Revisi Perda harus menyesuaikan dengan norma hukum terbaru, sekaligus memastikan adanya dukungan pendanaan melalui APBD maupun kemitraan CSR,” jelasnya.
Belajar dari Bali dan Papua
Dalam paparannya, Rasminto juga mencontohkan beberapa daerah yang berhasil mengembangkan lembaga adat sebagai pilar sosial dan budaya. Salah satunya Majelis Desa Adat (MDA) Bali yang mampu bersinergi dengan pemerintah daerah, serta Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Amungme-Kamoro (LPMAK) Papua yang sukses membangun kemitraan dengan sektor swasta melalui program CSR.
“Dari Bali kita belajar tentang sinergi adat dan pemerintah daerah, sementara dari Papua kita belajar pentingnya kemitraan CSR. Dua-duanya bisa menjadi rujukan bagi Jakarta dalam membangun lembaga adat Betawi yang kuat dan mandiri,” ujar Rasminto.
Menanamkan Nilai Betawi untuk Generasi Muda
Lebih jauh, Rasminto menekankan bahwa pembentukan lembaga adat Betawi bukan hanya soal pelestarian budaya, tetapi juga bagian dari pendidikan karakter generasi muda Jakarta. Nilai-nilai seperti sopan santun, gotong royong, dan keadaban sosial perlu terus ditanamkan agar tidak luntur di tengah kehidupan urban.
“Kalau budaya Betawi kuat, Jakarta akan punya jati diri yang kokoh sebagai kota modern yang tetap berakar. Ini juga menjadi bentuk nyata dari diplomasi budaya,” pungkasnya.
