Depok, Trenz Corner | Ini otokritik dari Sutrisno Buyil, Ketua Umum Forum Wartawan Hiburan (FORWAN) Indonesia. Ia menyoroti cara kerja wartawan kini, yang agaknya bisa menjadi cerminan bagi kita, betapa buram kualitas pers di masa depan. Itu tentu saja jika sikap kerja wartawan tidak dibenahi. Jika etos kerja wartawan tidak ditingkatkan. Menurut saya, sikap kerja yang dikemukakan Sutrisno Buyil di video ini, sesungguhnya sudah menjadi lampu merah bagi kehidupan pers kita.
Akibatnya, pers, dalam hal ini media online, hanya menyajikan informasi yang berkualitas rendah kepada publik. Terlebih lagi, informasi berkualitas rendah tersebut, hanya copy paste dari media online yang satu ke media online yang lain. Dari penelusuran saya terhadap sejumlah media online, bahkan salah tulis di media online yang satu, juga saya temukan salah tulis yang sama di media online yang lain.
Realitas tersebut memperkuat dugaan, sebagaimana diungkapkan Sutrisno Buyil, wartawan kloning memang benar adanya. Nyata-nyata ada di sekitar kita. Berapa banyak jumlah mereka? Berapa banyak media online yang seperti itu? Ini tantangan bagi kelompok wartawan atau asosiasi wartawan, untuk menelusurinya lebih jauh. Untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh.
Saya pikir, bukan saatnya lagi asosiasi wartawan berkilah bahwa “”itu bukan produk jurnalistik“” atau “”itu media online abal-abal.“” Saya juga pernah menelusuri link media online yang sudah terdaftar di Dewan Pers. Ternyata, cukup banyak media online yang sudah terdaftar, tapi content media tersebut tidak update secara periodik. Apakah itu bukan produk jurnalistik? Apakah itu media online abal-abal?
Tapi, kenapa ada dalam daftar media online di Dewan Pers? Dalam konteks meningkatkan kualitas pemberitaan, ini seharusnya menjadi perhatian para pekerja pers di tanah air. Khususnya asosiasi dan kelompok wartawan, yang menghimpun para pekerja pers. Tanpa pembenahan yang sungguh-sungguh, pers negeri ini akan ditinggalkan para pembaca.
Akibatnya? Akibatnya, masyarakat akan berkiblat ke media sosial. Dan, masyarakat tidak punya media pers yang kompeten untuk dijadikan rujukan. Untuk dijadikan alat pembanding. Akibat lanjutannya, masyarakat akan larut dalam arus informasi di media sosial, tanpa kejelasan yang mana fakta dan yang mana hoaks.
Pertanyaan saya: ini kah babak akhir pers Indonesia?