Jakarta, Trenz Corner | Suami terbaik, belum tentu paham isi hati sang istri. Sebaliknya, istri terbaik, juga belum tentu paham ambisi-ambisi sang suami. Ini mengingatkan saya pada tokoh Reso dan Nyai Reso dalam lakon teater “Panembahan Reso”. Kita tahu, lakon teater tersebut adalah salah satu lakon teater yang legendaris, karena ditulis oleh tokoh teater yang mumpuni, WS Rendra. Inti dari Panembahan Reso adalah perebutan tahta kekuasaan, yang penuh intrik, juga penuh dengan pertumpahan darah.
Saya sengaja mengambil part ini, konflik suami-istri antara Reso dan Nyai Reso, sebagai titik internal terdalam di lakon teater Panembahan Reso. Kita tahu, Reso adalah orang biasa, yang dengan piawai mengelola intrik, sampai akhirnya masuk menjadi ring satu kekuasaan Raja. Sebagai orang yang tidak berdarah biru, sebagai orang yang bukan dari kalangan bangsawan, hal tersebut tentulah sebuah lompatan yang luar biasa.
Lebih luar biasa lagi, karena Reso berambisi menjadi Raja. Ingat, ia tidak berdarah biru. Ia juga bukan bangsawan. Tapi, ia berambisi menjadi Raja. Gelar Panembahan Reso yang sudah disandangnya, nampaknya belum cukup baginya. Ambisinya masih meledak-ledak. Situasi di lingkar dalam kerajaan yang carut-marut, membuatnya kian leluasa mengelola intrik. Ia menciptakan konflik antara orang per orang, antara kelompok dengan kelompok.
Dan … ini yang luar biasa berikutnya: Reso menjalin asmara dengan permaisuri, yang jelas-jelas adalah istri Sang Raja. Di situlah kekuatan hati Nyai Reso, selaku istri. Ia jauh-jauh hari sudah mendeteksi, bahwa cepat atau lambat, ia akan kehilangan suami yang sangat ia cintai: Reso. Ia menentang ambisi suaminya untuk menjadi Raja. Ia sadar, semakin cepat ambisi tersebut terwujud, maka semakin cepat pula sang suami lepas dari pelukannya.
Hmmm … cinta dan asmara memang bagai dua sisi mata uang dengan kekuasaan. Percakapan sekaligus pertengkaran di lingkar dalam rumah tangga Reso dan Nyai Reso, menjadi cermin dari carut-marut yang berlangsung sengit di lingkar dalam Kerajaan. Atas dasar itulah, saya merasa, Panembahan Reso akan menjadi lakon teater yang relevan dari zaman ke zaman. Ambisi manusia serta bengisnya manusia, dikuakkan dengan gamblang oleh WS Rendra.
Lakon Panembahan Reso pernah dipentaskan WS Rendra bersama Bengkel Teater pada 26-27 Agustus 1986. Dipentaskan di Istora Senayan, Jakarta Pusat, selama 7 (tujuh) jam. Sekitar 15.000 penonton menghadiri dua hari pementasan teater tersebut. Kita tahu, WS Rendra meninggal di Depok, Jawa Barat, pada Kamis (06/08/2009). Baru 34 tahun kemudian, tepatnya pada Sabtu (25/01/2020), Pementasan Teater Mahakarya WS Rendra “Panembahan Reso” kembali dihelat di Teater Ciputra Artpreneur, Lotte Shopping Avenue, Jakarta Selatan.
Pentas tersebut disutradarai Hanindawan. Sosok Reso yang menjadi pemeran utama Panembahan Reso adalah Whani Darmawan, aktor panggung dari Yogyakarta. Yang berperan sebagai tokoh Nyai Reso adalah Ruth Marini, bintang layar lebar yang sangat antusias memerankan Nyai Reso. Sementara pemain lain yang ikut mendukung Pementasan Teater Mahakarya WS Rendra “Panembahan Reso” diantaranya Sha Ine Febriyanti, Ucie Sucita, Maryam Supraba, Sruti Respati, Diams Danang, Gigok Anurogo, Djarot. B Darsono, Meong Purwanto, Dedek Witranto, Jamaluddin Latif dan Rudolf Puspa.
Dalam Pementasan Teater Mahakarya WS Rendra “Panembahan Reso”, yang disutradarai Hanindawan tersebut, kita bukan hanya menyaksikan beragam intrik, tapi juga kekuatan akting Whani Darmawan dan Ruth Marini. (Isson Khirul & Fajar) | Video: Isson – Foto: Fajar Irawan