Oleh: Dimas Supriyanto*
MENGENANGKAN Ria Irawan adalah mengenangkan artis yang ceria. Saya mengenalnya sejak 1984, saat dia jadi artis remaja, anggota delegasi Indonesia yang ikut meramaikan Festival Film Asia Pasifik (FFAP) di Jakarta. Di Hotel Horizon – Ancol Jakarta. Kami banyak bicara. Juga foto bareng – film hitam putih.
Dia bangga menggandeng mesra artis ganteng Thailand, seumurnya, dan saat itu menjadi berita ramai karena biasanya artis Indonesia biasanya hanya berkumpul dan bergaul dengan sesama artis Indonesia – lantaran kendala bahasa dan kurang kemampuan sosialisasi. Ria Irawan lah artis remaja kita, di usia 15 tahun (kelahiran 24 Juli 1969) yang mendobraknya. Bergaul mesra dengan artis artis negeri jiran.
Pamor Ria Irawan sebagai artis remaja melangit ketika dia main film ‘Kembang Kertas‘ (1985) yang disutradarai Slamet Rahardjo dan film ‘Ibunda‘ garapan sutradara klas empu Teguh Karya, sebagai film Terbaik di FFI 1986 yang meraup banyak Piala Citra dan mengantarkannya sebagai nominasi Aktris Pendukung Terbaik. Ria sendiri tampil natural dan menawan di dua film itu. Sebagaimana Jenny Rachman dan Dewi Yull, wajah Indonesianya sangat khas.
Saya pernah menjemput dara pemilik nama Chandra Ariati Dewi Irawan ini, di rumahnya di Lebak Bulus Jakarta Selatan – dan ditempati hingga kini – memotretnya di outdoor bareng Erik Sumarouw, fotografer The Jakarta Post – terbawa oleh gaya foto tabloid Monitor yang membuat cover dengan setting luar ruang. Saya memakai lensa 135 mm untuk membuat foto dengan latar belakang alang-alang dan agak blur. Saya ingat, dia mengenakan gaun merah sopan.
Yang “tidak sopan” adalah bibirnya. Ria adalah artis kita yang bermulut cablak. Sebagian besar yang keluar dari bibir manisnya harus disensor.
Kami banyak bercanda dan ketawa–ketawa. Pembawaannya memang selalu ceria. “Kehidupan orang film itu keras, Mas. Makanya kami suka sama yang alus-alus, ” begitu jawabnya ketika saya menkonfirmasi gosip santer apa betul dia “lines” – suka bercinta dengan sesama perempuan?
Faktanya dia suka lelaki. Setidaknya sukses membawa Mick Jagger ke rumahnya, sebelum manggung di Stadion Utama Senayan, Oktober 1988. Dan media dibuat heboh. Gosip memang tak jauh dari Ria, sebagai artis cantik yang suka bikin kontroversi pada masa mudanya. Termasuk saat rekaman lagu bareng Rano Karno. Dan kematian Rivaldi Sukarno (1993) akibat ekstasi, lalu terbang ke Milan, dan balik ke Indonesia mendalami pembuatan video klip musik yang sedang trend, pacaran dengan Rizal Manthovani, tapi menikah dengan Yuma.
Meski tak semesra dulu, karena bertahun tahun tak bertemu muka, kami masih sering saling ngobrol dan SMS-an, bila ada kesempatan.
Terakhir saya ingat, ketika setelah ngobrol ngalor-ngidul dan lanjut SMS-an. Saya gatal menggodanya.
Oh, ya – sebelumnya saya bernostalgia, memuji ayahnya sebagai figur legenda yang kondang hingga kampung halaman saya.
“Semua orangtua Indonesia di awal tahun 1970-an ingin anak laki lakinya ganteng kayak Bambang Irawan!” puji saya, menyinggung almarhum bapaknya. Ria adalah putri bungsunya.
Sebelum melesat nama Sophan Sophiaan dan Roy Marten, Bambang Irawan lah lambang pria ganteng Indonesia pada masanya. Figur bintang pria idola.
Saya memuji ibunya, aktris Adek Irawan, yang tak menikah lagi setelah ditinggal Mas Bambang. Saya pernah wawancara khusus dengan aktris pemeran isteri Jendral Nasution di film “Pengkhianatan G-30 S PKI” untuk halaman harian Pos Kota dan dapat sambutan heboh.
Lalu saya berkomentar tentang Ria. Sengaja saya bikin nyeleneh. Tidak biasa. “Saya mengenangkan kamu, Ria Irawan, sebagai artis remaja yang toXXXnya gede!” tulis saya di SMS.
“Aduuh, Mas, berat Mas. Beraaat bawanya,” dia balas SMS saya. Tidak marah.
Belum ada isu “body shaming” waktu itu.
Melanjutkan jawabannya di SMS, dia angkat telepon dan bicara. “Tahu nggak Mas? Udah 10 tahun lebih aku nggak bisa lihat ‘memXX‘ aku sendiri. Tiap mandi aku gosok gosok aja, nggak bisa lihat, ” katanya.
“Kenapa?” Saya bertanya, sambil mengikik.
“Ya, itu. Ketutupan toXXX, ” jawabnya.
Mendadak saya ketawa ngakak, sendiri, di taksi sampai sopirnya kaget.
Itulah obrolan kami terakhir beberapa tahun lalu, sebelum dia dirawat karena kanker getah bening dan pergi selamanya.
Ria Irawan, sekarang kamu sudah tidak sakit lagi. Kamu nggak perlu suntikan morphin untuk meredakan rasa sakitmu.
Aku kenangkan tawa dan canda ceriamu.
Semoga kamu ceria juga di alam keabadian sana.
Selamat jalan. Damai bersamamu.
* Penulis adalah wartawan Jadul. Mengawali karir di Harian Pos Kota (1983) pernah jadi Redpel dan Pemred Majalah Film (1992 – 2002).