Deddy Mizwar Dan Radhar Panca Dahana : Dunia Batu Dalam Air Di LALUKAU
KENAPA TAK HENTI MENZALIMI ?
usai sudah #retorika jadi senjata
atau senjata menjadi retorika
jika ia sekadar dalih kapital yang #tamak
sekadar alibi #kekuasaan maniak
Jakarta, Trenz Corner | Sama-sama kita saksikan bersekutunya para pemburu kekuasaan dan para pemburu kapital. Kita saksikan dengan mata kepala sendiri. Kita rasakan dampak yang sesungguhnya. Kapital mengalir ke mereka yang berburu kekuasaan. Kebijakan dari penguasa lebih berpihak ke mereka yang telah mengalirkan kapital. Bahkan kebijakan penguasa kerap disetir oleh para pemilik kapital.
Rakyat dapat apa? Bahkan untuk sekadar membeli masker pun, barangnya tak tersedia. Bahkan hand sanitizer pun habis di mana-mana. Di saat yang sulit, kekuasaan menunjukkan watak aslinya. Di situasi apa pun, para pemilik kapital tiada henti meraup laba. Dengan cara yang halus. Dengan cara yang kasar. Mereka yang kaya memborong barang-barang, membuat harga-harga melambung.
Wong cilik? Si kecil? Orang miskin? Si miskin? Mari sama-sama kita dengar jeritan di album kedua Black Brothers:
Di tepi jalan si miskin menjerit
Hidup meminta dan menerima
Si kaya tertawa berpesta pora
Hidup menumpang di kecurangan
Sadarlah kau … cara hidupmu
Yang hanya menelan korban yang lain
Bintang jatuh hari kiamat
Pengadilan yang penghabisan
Itu petikan dari lagu “Hari Kiamat” dari album Derita Tiada Akhir. Lagu lawas Black Brothers yang dilansir tahun 1977 itu, mungkin bisa menjadi bahan renungan kita kini. Atas alasan ekonomi, atas dasar hukum ekonomi, kita merasakan realitas hidup yang sesungguhnya: si miskin menjerit, si kaya tertawa. Di banyak tempat, kita merasakan realitas ini.
Sebagian orang menyebutnya ketimpangan. Ada juga yang mencatatnya sebagai kesenjangan. Bahkan ada yang mendatanya dalam angka serta grafik statistik yang rumit, sebagai kelas-kelas sosial. Karena adanya ketimpangan, adanya kesenjangan, dan adanya kelas-kelas sosial, maka sangat lumrah timbul beragam sikap terhadap realitas hidup.
Politisi? Kepentingan mereka sangat jelas: kekuasaan. Retorika jadi senjata dan senjata menjadi retorika mereka, untuk merebut kekuasaan. Untuk kepentingan rakyat dan demi kesejahteraan rakyat, adalah rangkaian kalimat yang berhamburan dari tenggorokan para politisi. Rakyat dapat apa? Bahkan untuk sekadar membeli masker pun, barangnya tak tersedia. Bahkan hand sanitizer pun habis di mana-mana.
ketika kebebasan direbut dengan darah
ketika harta direnggut dengan serakah
ketika demokrasi jadi kebohongan elit
ketika pasar jadi rezeki yang pelit
tidakkah kita bahagia karenanya?
atau kita murka disebabkannya?

Dari waktu ke waktu, kita mencatat perjalanan bangsa. Dari rezim yang satu ke rezim yang lain. Kita bahagia? Kita murka? Inilah yang dikuakkan budayawan Radhar Panca Dahana melalui puisi “Dunia Batu Dalam Air” yang dibacakan Deddy Mizwar. Event budaya itu digelar pada Rabu (19/02/2020) malam di Gedung Kesenian Jakarta, Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Ini adalah bagian dari event Teater Kosong, yang bertajuk LaluKau. LaluKau adalah judul buku kumpulan puisi Radhar Panca Dahana yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2020 ini. Puisi “Dunia Batu Dalam Air” tersebut, menjadi salah satu dari 78 puisi yang terhimpun di sana. (Isson Khairul) | Video : Isson , Foto: Fajar