Busan International Film Festival 2024
Busan, Trenzindonesia | Kabar gembira datang dari Busan International Film Festival (BIFF) 2024. Film “Tale of the Land“, yang diproduksi oleh KawanKawan Media, berhasil meraih FIPRESCI Prize, sebuah penghargaan bergengsi yang diberikan oleh Federasi Internasional Kritikus Film.

Film ini merupakan debut penyutradaraan Loeloe Hendra, serta diproduseri oleh Amerta Kusuma dan Yulia Evina Bhara. Penghargaan tersebut diumumkan pada 10 Oktober 2024 di Signiel, Busan, Korea Selatan.
Penghargaan FIPRESCI Prize diberikan kepada film-film yang dinilai berhasil merefleksikan semangat eksperimental dan progresif dalam perfilman. “Tale of the Land“, yang berkompetisi dalam program New Currents, dipilih karena kekuatan visualnya yang luar biasa dalam mengangkat isu-isu penting, seperti rusaknya harmoni antara manusia dan alam. Selain itu, film ini juga memperkaya cerita dengan memasukkan referensi budaya tradisional, sehingga pesan global tentang masa depan dapat disampaikan dengan relevan.
Para anggota juri, yaitu Hsin Wang (Taiwan), Rhee Souewon (Korea Selatan), dan Teréz Vincze (Hungaria), memuji film ini karena mampu menyampaikan narasi kuat tentang konflik tanah dan masyarakat adat dengan pendekatan sinematik yang mengesankan. Film ini pertama kali ditayangkan di BIFF pada 4 Oktober 2024 sebagai bagian dari penayangan perdana dunia (world premiere).
Kisah May, Alegori Masyarakat Adat
“Tale of the Land” dibintangi oleh sejumlah aktor berbakat, seperti Shenina Cinnamon, Arswendy Bening Swara, Angga Yunanda, dan Yusuf Mahardika. Cerita film ini berpusat pada karakter May (diperankan oleh Shenina Cinnamon), seorang gadis Dayak yang trauma akibat kematian orangtuanya dalam konflik tanah. Trauma tersebut membuatnya tidak dapat menginjakkan kaki di tanah. Ia tinggal bersama kakeknya, Tuha (Arswendy Bening Swara), di sebuah rumah terapung di atas danau, jauh dari daratan.

Menurut sutradara Loeloe Hendra, karakter May merepresentasikan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat di seluruh dunia yang tanah airnya terus berubah akibat tekanan dunia modern. Kisah May menjadi alegori yang menyentuh tentang bagaimana manusia dan alam terhubung, serta bagaimana konflik tanah merusak keseimbangan tersebut.
Syuting “Tale of the Land” dilakukan di Kota Bangun, Kalimantan Timur, yang memanfaatkan keindahan fenomena alam dengan 90% lanskap perairan. Film ini juga memperkenalkan penggunaan bahasa Kutai, yang jarang direpresentasikan di film-film Indonesia. Hal ini menambah kekayaan budaya dalam film dan memberikan kesempatan bagi penonton untuk mengeksplorasi keberagaman tradisi Indonesia.
Film ini merupakan hasil kerjasama antara Indonesia, Filipina, dan Taiwan, menambah dimensi internasional dalam proses produksinya.
Atas kemenangan ini, para produser Amerta Kusuma dan Yulia Evina Bhara mengungkapkan rasa bahagianya mewakili sinema Indonesia di kancah internasional. “Sebuah surat cinta untuk sinema Indonesia, senang rasanya bisa mewakili sinema Indonesia di Busan dan menerima penghargaan ini. Semoga ketika tayang di tanah air, film ini dapat diterima dengan baik oleh penonton Indonesia,” ujar mereka dalam pidato kemenangan di Busan.
Sutradara Loeloe Hendra juga menyampaikan rasa bangganya atas kemenangan ini, terutama karena ini merupakan film panjang pertamanya. “Terhormat sekali menerima penghargaan ini, khususnya karena ini adalah film panjang pertama saya. Saya dedikasikan penghargaan ini untuk orang-orang Kalimantan dan juga kerja keras seluruh kru dan cast ‘Tale of the Land’,” ucapnya.
Film “Tale of the Land” diharapkan segera tayang di Indonesia setelah kesuksesannya di Busan. Bagi para penonton yang ingin mengetahui perkembangan terbaru, informasi lebih lanjut dapat diikuti melalui akun Instagram resmi @kawankawanmedia. (Da_Bon/Fjr) | Foto:Istimewa