Gus Mahfud
Yogyakarta, Trenzindonesia.com | Saat kalender Hijriah memasuki bulan Muharram, masyarakat Jawa pun menyambut datangnya Bulan Suro—momen sakral yang menjadi ruang kontemplasi sekaligus perayaan nilai-nilai spiritual dan budaya leluhur. Meski zaman terus bergulir, Bulan Suro dan Muharram tetap bertahan sebagai bulan penuh makna bagi banyak kalangan di Indonesia.
Dalam tradisi Jawa, Bulan Suro dipercaya sebagai masa yang kental dengan energi spiritual. Warga mengisinya dengan ritual tirakat seperti tapa bisu, puasa mutih, hingga meditasi di tempat-tempat keramat. Semua itu dilakukan sebagai bentuk penyucian diri, penghormatan terhadap leluhur, dan pencarian makna hidup yang lebih dalam.
“Bulan Suro bukan hanya sekadar perayaan budaya, tetapi menjadi ruang kontemplatif yang mempertemukan manusia dengan nilai-nilai luhur dan spiritualitas lokal,” ungkap Gus Mahfud, tokoh spiritual asal Tulungagung.
Kirab Pusaka: Menjaga warisan budaya di tengah zaman modern
Salah satu puncak tradisi Bulan Suro yang paling ditunggu adalah Kirab Pusaka di Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Dalam kirab ini, berbagai pusaka keraton seperti keris, tombak, dan benda-benda bertuah lainnya diarak keliling kota. Ritual tersebut dipercaya sebagai simbol penyucian energi serta pelestarian warisan budaya adiluhung.
Kirab ini bukan sekadar tontonan budaya, melainkan ekspresi spiritual masyarakat yang memadukan unsur adat, kepercayaan, dan keislaman. Banyak wisatawan dan peziarah yang datang untuk menyaksikan langsung prosesi yang syarat simbolisme ini, menjadikannya daya tarik wisata spiritual setiap tahun.
Muharram: Bulan Allah dalam Islam
Dari sisi Islam, Muharram merupakan satu dari empat bulan suci yang disebut dalam Al-Qur’an. Rasulullah SAW bahkan menyebutnya sebagai “bulan Allah”, sehingga umat Muslim dianjurkan memperbanyak amal kebaikan, khususnya pada Hari Asyura (10 Muharram) yang dipercaya sebagai hari penyelamatan Nabi Musa AS dari kejaran Fir’aun.
“Secara teologis, Bulan Muharram adalah momentum untuk memperbanyak amal dan menjauhi kezaliman. Islam menekankan pentingnya introspeksi dan memperkuat keimanan di bulan ini,” jelas Gus Mahfud.
Perpaduan spiritual dan sosial
Di banyak daerah di Indonesia, Bulan Suro dan Muharram juga diwarnai kegiatan sosial seperti pengajian akbar, santunan anak yatim, dan doa bersama. Semangat solidaritas dan kepedulian menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi ini, mencerminkan wajah religius sekaligus inklusif masyarakat Indonesia.
Dengan sinergi antara adat dan agama, Bulan Suro dan Muharram bukan hanya menjadi penanda waktu, tetapi juga momentum penting dalam kalender spiritual bangsa. Di sinilah budaya dan keimanan berjalan beriringan, memperkuat identitas Indonesia yang kaya akan makna dan nilai-nilai luhur.[]