Trenz Indonesia
News & Entertainment

Ilham Bintang, Wartawan Yang Sulit Dilampui

Oleh Dimas Supriyanto

 

SEPULANG dari perayaan Hari Pers Nasional 2020 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan,  7 – 10 Februari 2020 ini,  saya mendapat setumpuk buku. PWI Pusat dan Dewan Pers selalu menerbitkan buku dan mengedarkannya di tengah acara HPN dan itu adalah bingkisan yang saya tunggu. Sebagian besar buku mengenai jurnalistik dan catatan dari pikiran dan telaah para senior dan kolega sesama jurnalis.  Layak disimak.

Salah satunya yang jadi bingkisan di HPN tahun 2020 ini adalah buku karya  Ilham Bintang, “Surat Surat Mendiang Nana” yang dikemas lux setebal 258 halaman. Langsung menarik perhatian saya.

Surat Surat Wasiat Mendiang Nana” adalah judul yang diambil, merujuk pada memoar keponakannya, Shabrina Evaswantry binti Novizar Swantry (Nana)  yang sakit kanker stadium 4 dan meninggalkan catatan sebelum akhirnya pergi selamanya di RS Eka BSD. Catatan yang sangat menyentuh.

Ilham Bintang adalah senior dan rujukan saya. Antara lain dalam hal menulis. Saya langsung hanyut dalam kumpulan catatan jurnalis di buku-bukunya. Mengingatkan pada “Super Senior” dan Suhu Watawan Indonesia yang telah mendahului kami,  H. Rosihan Anwar. Membuat reportase ringan dengan sentuhan opini pribadi, bernuansa human interest. Mengasyikkan.

Ilham Bintang yang kini menjadi Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat juga pernah menjadi Ketua Bidang Pembelaan Wartawan di organisasi yang sama – di organisasi kami – organisasi yang menaungi saya. Meski demikian dia bukan pembela membabi buta. Dia juga mengritik keras wartawan yang berlaku semena-mena dalam menjalankan tugasnya.

Dalam kasus penggerudukan kantor “Radar Bogor”,  Rabu  (30/5/2018), misalnya –  dia mengecam tindakan penggerudukan kantor redaksi media itu, oleh Kader PDI-P. Namun juga kesal dengan wartawan yang mengejar sensasi dan menimbulkan kemarahan pembacanya.

“Radar Bogor” membuat judul di headline “Ongkang Ongkang Kaki Dapat Rp.112,5 juta” dengan memajang foto Megawati segede Gaban. Meski berdasar fakta wartawan mestinya bijak.

Ilham bertanya,  kenapa Megawati diposisikan buruk? Makan gaji buta? Ilham juga tak suka pengggunaan istilah “ongkang-ongkang kaki” yang terkesan merendahkan dan menimbulkan kemarahan kader PDIP – yang menganggap Mega sebagai Ibunya.  Namun ketidak-sukaannya tertutup oleh aksi penggerudukan itu.

Daeng Ilham – begitulah panggilan penghormatan untuk wartawan berdarah Makassar ini  – juga mengungkap pengalaman ada wartawan Solo,  yang meminta nasehat karena dipanggil polisi. Ilham Bintang meminta agar dia mematuhi polisi dan memenuhi panggilan.

“Sebenarnya panggilan polisi untuk pemimpin redaksi tapi bila ‘sampean‘ diminta Pemred ke polisi, ya datangi,” begitu nasehat peraih dua kali  Hadiah Jurnalistik Adinegoro ini.

Mekanisme pelurusan berita, jika ada pihak yang dirugikan oleh pemberitaan media adalah meminta hak jawab ke redaksi yang bersangkutan, atau melapor ke Dewan Pers. Jika  gagal – tak ada titik temu, baru lapor ke polisi. Diproses hukum pidana.

Sayangnya, pihak polisi batal memanggil karena wartawan mengerahkan rekan-rekannya buat demo. Main kayu.

Ilham Bintang kecewa –  karena selain ada pembungkan pers juga ada pembungkaman terhadap polisi dan pembungkaman hukum. Akibatnya, UU Pokok Pers No 40 Tahun 1999 gagal diuji.

Ilham Bintang menegaskan,  “Wartawan tidak kebal hukum!”

Membaca buku ini memberi kesan bahwa Ilham Bintang adalah wartawan yang susah dilampui. Hampir dalam semua hal.

Pertama,  dari segi umur dan vitalitas. Memang dia lebih tua dan lebih senior dari saya dan tetap fit.  Kegemarannya jalan kaki di pagi hari dan disiplin olahraga membuat dia tetap aktif. Dia terus menulis bahkan produktif padahal posisinya sudah kelas “juragan” – tak ada kewajiban menulis baginya.

Agaknya, menulis sudah jadi “habitus” bagi Ilham Bintang, kata editor buku ini.

Kedua,  dari sisi jurnalistik. Buku ini merupakan buku ke-7 yang diterbitkannya, sejak membukukan “Salam dari Meruya” (2003). Buku adalah “mahkota wartawan” dan dia sudah menyandang 7 mahkota.

Ketiga,  dari sisi kesejahteraan, sukses menerbitkan tabloid “C&R”  dari Meruya, Jakarta Barat,  dan tayangan berbagai infotainment di RCTI dan stasiun lainnya, selama bertahun tahun,  membuatnya sebagai salah satu “taipan” media di tanah air. Dia dijuluki “Raja Infotainment“.

Mobil yang dikendarainya sedan Mercy panjang, sekelas presiden  – saya ikut menumpangnya. Dia menyekolahkan anak- anaknya di luar negeri dan kini mewarisi bisnisnya. Ada juga yang jadi dokter.

Ke empat,  dia pria yang berbahagia dan banyak mensyukuri kebahagiaannya. Setia dengan satu isteri – mbak Ades, namanya –   dan Ayah yang pandai menjaga anak anaknya dengan baik. Dia sosok yang relijius.

Ke lima, pergaulannya luas sebagaimana nampak dari tokoh tokoh yang ditulis dan diwawancarainya. Dari BJ Habibie,   Mahathir Mohammad, Najib Razak,  hingga Raam Punjabi dan Arswendo Atmowiloto.

Ke enam, setia kawan. Bukan hanya dalam suka,  tapi juga dalam duka. Dia membezuk pengacara kondang OJ Kaligis di LP Sukamiskin, berbincang sebagai sahabat lama,  menampung keluh kesahnya, ketika sebagian orang menjauhinya.

Saya pun salah satu juniornya yang selalu mendapat perhatian darinya. Berkali kali saya menyelenggarakan hajat – baik di Jakarta maupun Bandung – dan beliau selalu hadir. Masya Allah.

Dalam buku ini pula, Ilham Bintang menulis dalam acara buka puasa di Astra  dan mendapat hadiah radio transistor merk Cawang jadul.

Hadiah itu diberikan untuknya setelah Forum Pemred dan penyelenggara acara buka puasa bersama Astra menobatkannya dengan predikat “Wartawan Paling Ramah

Saya pun setuju dengan predikat itu..

Leave A Reply

Your email address will not be published.