Partai Persatuan Pembangunan
Jakarta, Trenzindonesia.com | Kisruh kepemimpinan kembali mewarnai panggung politik nasional. Dalam Muktamar ke-10 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 2025, dua kubu — Agus Suparmanto dan Muhammad Mardiono — sama-sama mengklaim diri sebagai Ketua Umum periode 2025–2030. Persaingan yang awalnya bersifat politik akhirnya berujung ricuh di arena muktamar, menegaskan bahwa konflik internal partai politik di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam memperkuat sistem demokrasi.
Ketegangan di tubuh PPP bukanlah peristiwa baru. Sejarah mencatat, partai-partai politik di Indonesia kerap terjebak dalam sengketa kepengurusan yang berulang, menunjukkan lemahnya konsolidasi internal dan kurangnya mekanisme penyelesaian konflik yang efektif.
UU Partai Politik Sudah Mengatur Mekanisme Sengketa
Secara normatif, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 telah memberikan panduan penyelesaian sengketa partai. Undang-undang tersebut mewajibkan setiap konflik kepengurusan diselesaikan terlebih dahulu melalui Mahkamah Partai, atau lembaga sejenis yang dibentuk berdasarkan AD/ART.
Putusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat secara internal, terutama untuk menentukan kepengurusan yang sah. Namun, jika forum ini gagal menyelesaikan sengketa, para pihak masih dapat menempuh jalur Pengadilan Negeri, bahkan hingga Mahkamah Agung melalui kasasi.
Kerangka hukum ini sejatinya dirancang agar konflik internal partai tak berlarut-larut dan tidak mengganggu fungsi partai sebagai pilar demokrasi.
Peran Strategis Kemenkumham dalam Pengesahan Kepengurusan
Dalam praktiknya, pemerintah — melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) — memegang peran penting dalam menentukan kepengurusan partai yang diakui secara hukum. Hasil muktamar wajib didaftarkan ke Kemenkumham untuk memperoleh pengesahan resmi.
Kemenkumham menilai keabsahan muktamar dari aspek formil dan materil, seperti legalitas forum, tata cara pemilihan, serta kesesuaiannya dengan AD/ART partai. Selain itu, Kemenkumham biasanya mendasarkan keputusannya pada putusan Mahkamah Partai, sebagai rujukan utama penyelesaian sengketa.
Dalam kasus PPP tahun 2025, Kemenkumham akhirnya menetapkan Muhammad Mardiono sebagai Ketua Umum sah periode 2025–2030. Keputusan ini bersifat final dan mengikat, selama memenuhi persyaratan hukum yang berlaku. Namun, kubu yang tidak puas tetap memiliki hak menggugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam asas hukum dikenal istilah praduga rechtmatig, yakni setiap keputusan pejabat negara dianggap sah hingga ada putusan pengadilan yang membatalkannya. Artinya, meski pemerintah hanya mengakui satu kepengurusan, dinamika politik bisa terus berjalan seiring adanya upaya hukum lanjutan dari pihak yang kalah.
Konflik Partai dan Tantangan Kedewasaan Demokrasi
Kisruh internal PPP menggambarkan realitas bahwa penyelesaian konflik politik tidak cukup hanya bersandar pada mekanisme hukum. Sering kali, putusan Mahkamah Partai yang seharusnya final tetap dipersoalkan di pengadilan, memperlihatkan lemahnya komitmen elite partai untuk menghormati hasil keputusan bersama.
“Kedewasaan politik menjadi faktor penentu dalam menyelesaikan konflik. Tanpa sikap legawa dari elite, mekanisme hukum apa pun tidak akan efektif,” ujar seorang pengamat politik.
Dalam sistem demokrasi, kebebasan berpendapat dan berkompetisi memang bagian dari dinamika partai. Namun, tanpa konsolidasi internal yang kuat, kebebasan itu bisa berujung pada perpecahan. Partai politik bukan hanya mesin elektoral untuk merebut kekuasaan, tetapi juga penjaga stabilitas demokrasi dan wadah kaderisasi pemimpin bangsa.
Oleh: Rani Purwanti
Dr. (Cand.) Hukum Tata Negara
Peneliti di bidang kepemiluan dan kelembagaan partai politik
