Jakarta, Trenzindonesia | Dalam peluncuran buku terbarunya, “Belenggu Nalar,” mantan Menteri BUMN, Ir. Laksamana Sukardi, menyoroti problematika hukum di Indonesia yang seringkali terdistorsi oleh kepentingan politik dan birahi kekuasaan.
Pada peluncuran buku “Belenggu Nalar,” karya Laksamana Sukardi ini, juga digelar acara diskusi yang juga menghadirkan pembicara politikus Anas Urbaningrum, Advokat Petrus Selestinus, SH, dengan moderator Wina Armada, yang diadakan di Nusantara Room, The Dharmawangsa Hotel, Jakarta Selatan, pada Senin (15/1/2024) sore.
Laksamana Sukardi mengungkapkan bahwa Indonesia, yang selama ini dianggap sebagai negara hukum, seharusnya memegang teguh prinsip hukum dalam semua aspek penyelenggaraan negara. Namun, dalam realitasnya, hukum sering digunakan untuk memenuhi keinginan politik dan kekuasaan.
Buku “Belenggu Nalar” membahas penjualan kapal tanker milik Pertamina pada tahun 2004, yang mengakibatkan Laksamana Sukardi dikriminalisasi. Meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa penjualan tersebut tidak merugikan negara, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berpendapat sebaliknya.
Laksamana Sukardi menyampaikan bahwa dirinya dihadapkan pada kesulitan keuangan negara saat itu. Pertamina, yang sedang menghadapi krisis keuangan, terpaksa menjual kapal tanker yang sedang dalam sengketa. Meskipun Pertamina mendapatkan keuntungan, KPPU menyatakan bahwa penjualan tersebut merugikan negara.
“Dalam eforia reformasi, hakim ternyata takut memutus perkara secara obyektif,” kata Laksamana Sukardi, menyoroti ketakutan hakim dalam membuat keputusan yang obyektif.
Advokat Petrus Selestinus menambahkan bahwa Laksamana Sukardi dan Megawati Soekarnoputri adalah tokoh yang berjasa terhadap reformasi, meskipun tidak menjadi tokoh utama. “Ketika itu Pak Laks justru dikriminalisasi oleh teman-temannya sendiri di Komisi III, terutama dari PDIP dan Demokrat,” ujarnya.
Politikus Anas Urbaningrum menilai bahwa perkara yang menimpa Laksamana Sukardi merupakan upaya untuk menjegal karier politiknya.
“Waktu itu Pak Laks jadi tokoh yang masih punya masa depan politik. Dicari jalan agar masa depan politiknya habis. Kalau cara politik tidak bisa, dicarilah jalan lain. Dulu stempelmya PKI. Di era reformasi dengan stempel korupsi. Stempel itu lebih kuat. Stempel korupsi akan membuat orang jadi warganegara kelas lima!,” tegas Anas. (Fjr)