Dr. Fendi Hidayat, Akademisi Universitas Batam
Jakarta, Trenzindonesia.com | Polemik kehadiran TNI di lingkungan kampus terus memicu perdebatan. Di tengah resistensi sejumlah pihak, Dr. Fendi Hidayat, akademisi Universitas Batam, justru menyerukan sinergi strategis antara militer dan dunia pendidikan. Menurutnya, kolaborasi ini bisa menjadi kunci penguatan wawasan kebangsaan mahasiswa—asal prinsip kebebasan akademik tetap dijunjung tinggi.
TNI di Kampus: Ancaman atau Peluang?
Dalam pernyataannya, Jumat (25/4), Dr. Fendi menegaskan bahwa TNI memiliki peran krusial dalam membangun karakter generasi muda. “Program bela negara, pelatihan kepemimpinan, hingga riset strategis bersama TNI bisa memperkaya pengalaman akademik mahasiswa,” ujarnya.
Namun, ia mengingatkan, kerja sama ini harus dibangun dengan transparansi dan menghormati otonomi kampus. “Kebebasan berpikir adalah harga mati. Kampus harus tetap menjadi ruang diskusi kritis, tapi juga terbuka untuk kolaborasi yang memperkuat nilai-nilai kebangsaan,” tambahnya.
Jawab Kekhawatiran “Militerisasi Kampus”
Menanggapi isu “agenda tersembunyi” TNI, Dr. Fendi menilai hal itu tidak berdasar selama prosesnya terbuka dan demokratis. “Yang penting, dialog antara kampus dan TNI harus setara. Dengan begitu, mahasiswa bisa belajar tentang nasionalisme tanpa kehilangan daya kritisnya,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya sinergi TNI-Kampus dalam menghadapi tantangan global, seperti disrupsi teknologi dan ancaman keamanan siber. “Kolaborasi riset keamanan nasional atau pelatihan teknologi pertahanan bisa jadi contoh konkret,” paparnya.
Optimisme Menuju Ekosistem Pendidikan Progresif
Dr. Fendi meyakini, integrasi nilai-nilai militer dan akademik justru bisa melahirkan lulusan yang unggul secara intelektual sekaligus memiliki kedisiplinan tinggi. “Ini bukan soal militerisasi, tapi membangun generasi yang cerdas, inklusif, dan cinta tanah air,” pungkasnya.
Seiring meningkatnya dinamika geopolitik global, sinergi TNI-Kampus seperti yang digagas Universitas Batam ini mungkin akan menjadi tren baru. Pertanyaannya: bisakah kedua institusi ini menciptakan harmoni tanpa mengikis independensi akademik?