Jakarta, Trenz News I Langkah BPOM yang menerbitkan surat pencabutan atas Emergency Use Authorization (EUA) terhadap chloroquine (CQ) dan Hydroxycloroquine (HCQ) untuk pengobatan Covid-19 dinilai sangat terlambat. Sebab FDA telah melakukan pencabutan itu sejak bulan Juni 2020 lalu. Dikhawatirkan, telah terjadi sejumlah kasus yang menyangkut efek samping akibat pemberian chloroquine dan hydroxychloroquine dalam upaya pengobatan Covid-19 selama ini.
‘’Saya lihat, surat yang diterbitkan BPOM ini hanya mengedepankan kewenangan saja. Kewenangan untuk menerbitkan ijin penggunaan atau melarang penggunaan obat-obatan tertentu, tanpa ada penjelasan rinci mengenai dampak yang ditimbulkan,’’ ungkap apt Drs Julian Afferino, MS seorang pakar klinik dan diganostik menjawab pertanyaan wartawan, Rabu (18/11).
Dalam kesempatan itu, pemerhati Kesehatan ini mempertanyakan, apabila terjadi dampak dari penggunaan obat ini terhadap pasien Covid-19, siapa yang harus bertanggungjawab? Ia kemudian merunut ke belakang, pada 28 Maret 2020 lalu FDA menerbitkan EUA untuk chloroquine (CQ) dan hydroksicloroquine (HCQ) atas permintaan BARDA (Biomedical Advance Research and Development) yang berada dalam Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS (HSS). Sejak itu, seluruh dunia mulai menggunakan kedua obat tersebut dalam pengobatan pasien Covid-19. Berselang beberapa hari kemudian, pada tanggal 7 April 2020 BPOM merilis 16 obat Covid-19 dan dua diantaranya adalah CQ dan HCQ. Namun pada 15 Juni 2020, BARDA meminta kepada FDA untuk mencabut EUA terhadap kedua obat tersebut atas pertimbangan risk and benefit berdasar data ilmiah yang terpercaya (pertimbangan efek yang baik dan mudarat) terutama efek samping yang serius terhadap jantung pada pasien Covid-19 yang diberi pengobatan dengan CQ dan HCQ.
‘’Seharusnya, bersamaan dengan dicabutnya EUA atas CQ dan HCQ oleh FDA, pada bulan Juni lalu, BPOM juga melakukan hal yang sama, mengingat BPOM tidak melakukan uji klinis sendiri. Tapi mengapa sampai menunggu hingga menjelang akhir tahun, pencabutan EUA atas CQ dan HCQ baru dilakukan? Ada masalah apa sebenarnya? Apakah karena stock obat tersebut yang selama ini sudah terlanjur diimpor oleh pemerintah itu baru habis, sehingga pencabutan EUA baru dilakukan sekarang?’’ tanya apt Julian yang juga CEO Pharmacare Consulting ini.
Ia juga menyayangkan, tidak ada suara dari para ahli klinis mengenai hal ini. Seharusnya mereka memberikan masukan, mengenai efek samping yang mungkin timbul akibat penggunaan Chloroquine dan hydroxychloroquine ini, agar tidak timbul efek samping merugikan yang tidak perlu yang harus ditanggung oleh pasien.
Dalam surat yang diteribitkan oleh BPOM bernomor R-PW.01.14.3.35.11.20.986 tertanggal 13 November 2020 disebutkan, sehubungan dengan perkembangan terkini, studi klinik di dunia dan hasil pemantauan BPOM mengenai penggunaan Chlroroquine Phospate dan Hydroxychloquine Sulfate maka dilakukan pencabutan Persetujuan Penggunaan Darurat (Emergency Use Authorization/EUA) obat yang mengandung Hydroxychloroquine Sulfate dan Pencabutn Izin Edar obat yang mengandung Chloroquine Phospate untuk pengobatan Covid-19. BPOM juga menghimbau agar regimen yang mengandung CQ dan HCQ itu tidak lagi digunakan dalam pengobatan Covid-19.
‘’Dalam surat tersebut sama sekali tidak dijelaskan, apa alasan pencabutan EUA, hanya menyebutkan perkembangan studi klinik terbaru. Tidak semua masyarakat bisa membaca jurnal, sehingga sudah seharusnya BPOM memberikan penjelasan rinci, apa sebenarnya penyebab dicabutnya EUA tersebut. Hasil studi yang seperti apa yang membuat BPOM mencabut EUA tersebut,’’ ungkap Julian.
Menurut Julian, chloroquine dan hydroxysichloroquine yang selama ini digunakan untuk mengobati malaria memiliki efek samping antara lain pemanjangan interval QT pada pasien. Bila obat ini diberikan kepada pasien malaria, maka tidak menimbulkan masalah berarti, sebab malaria tidak menyebabkan pemanjangan interval QT, meskipun efek samping tersebut selalu menjadi pertimbangan.
Berbeda dengan pasien Covid-19. Pada penderita Covid-19 terjadi myocarditis, suatu peradangan yang terjadi pada otot jantung myocardium. Akibat dari peradangan ini akan mengganggu respon listrik jantung dan berakibat memanjangnya interval QT, pemberian chloroquine atau hydroxychloroquine akan menyebabkan interval QT semakin memanjang, jika pemanjangan interval QT ini melampaui kemampuan jantung, maka dapat mengakibatkan terjadinya henti jantung.
Oleh sebab itu, lanjut Julian, diperlukan evaluasi terhadap kesehatan jantung seseorang sebelum diberikan terapi CQ/HCQ. Bagi penderita yang mengalami defisiensi enzim G6PD (Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase), chloroquine dapat menyebabkan risiko pecahnya sel-sel darah merah (hemolisis), sehingga terapi dengan CQ/HCQ diperlukan juga persyaratan pemeriksaan enzim G6PD.
Julian khawatir, selama ini sudah terjadi sejumlah masalah yang tidak terungkap ke permukaan, akibat penggunaan chloroloroquine dan hydroxysichloroquine dalam pengobatan Covid-19 ini. Karena itu, sekali lagi, ia sangat menyayangkan keterlambatan BPOM dalam mencabut EUA atas kedua obat tersebut yang sejak awal sebenarya sudah ada studi klinis dan farmakologisnya.
‘’Sekali lagi, seharusnya apa yang dilakukan FDA merupakan sinyal bagi BPOM untuk bertindak lebih responsif, karena kita tidak meneliti sendiri, sehingga tidak harus menunggu menjelang akhir tahun untuk mencabut EUA atas CQ dan HCQ,’’ tegasnya.