Kasus Pemerasan Penonton DWP: Rencana Pengembalian Uang Rp 2,5 Miliar oleh Polri Menuai Kontroversi dan Pertanyakan Komitmen Penegakan Hukum
Jakarta, Trenzindonesia | Rencana pengembalian uang hasil pemerasan senilai Rp 2,5 miliar kepada korban penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) oleh Propam Polri menimbulkan polemik dan tanda tanya besar di tengah masyarakat.
Langkah ini dinilai menunjukkan ketidaktegasan Polri dalam menindak kasus yang melibatkan anggotanya di ranah pidana, seolah cukup berhenti pada Komisi Kode Etik Polri (KKEP) tanpa dilanjutkan ke proses hukum pidana yang lebih serius.
Secara hukum, uang yang disita dari hasil pemerasan seharusnya dianggap sebagai barang bukti tindak pidana. Sesuai prosedur, barang bukti ini harus dibawa ke proses peradilan pidana, bukan dikembalikan begitu saja kepada korban. Hakim nantinya yang memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah barang bukti tersebut akan:
Dimasukkan ke kas negara
Dikembalikan kepada korban
Dimusnahkan
Polri sebagai penyidik tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan status akhir barang bukti, melainkan hanya menyita dan menjadikannya alat bukti sah di pengadilan. Jika uang Rp 2,5 miliar tersebut dikembalikan, maka langkah ini berpotensi dianggap sebagai penghilangan barang bukti, yang dapat menghambat proses hukum dan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri.
Kasus pemerasan ini tidak bisa dianggap sebagai pelanggaran etik semata, melainkan sudah masuk dalam kategori tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Kasus ini melibatkan transaksi keuangan yang kompleks, dengan uang yang disimpan di rekening tertentu yang patut dicurigai.
Proses hukum yang transparan dan menyeluruh akan memungkinkan penyidik untuk mendalami:
Modus operandi yang digunakan dalam pemerasan
Motif di balik tindak pidana ini
Aliran dana kepada pihak lain
Jika proses hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka akan muncul preseden buruk yang merusak citra Polri di mata masyarakat serta komunitas internasional.
![IPW : Diperlukan Ketegasan Polri Dalam memberantas Polisi Polisi Nakal](https://trenzindonesia.com/wp-content/uploads/2025/01/230ad5fe-ba40-4b09-8950-6f36601e0ba2.jpg)
Oleh karena itu, Indonesia Police Watch (IPW) menilai yang dibutuhkan oleh Institusi Polri adalah ketegasan dan komitmen memberantas polisi-polisi nakal. Hal ini sesuai yang disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan memberi perintah tegas kepada jajarannya agar tak segan memberi hukuman kepada anggota yang melanggar hukum.
“Perlu tindakan tegas, jadi tolong tidak pakai lama, segera copot, PTDH, dan proses pidana. Segera lakukan dan ini menjadi contoh bagi yang lainnya. Saya minta tidak ada Kasatwil yang ragu, bila ragu, saya ambil alih,” kata Kapolri dalam arahannya kepada jajarannya secara daring di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (19 Oktober 2021).
Sehingga kalau institusi Polri melalui Propam Polri melakukan pengembalian uang Rp 2,5 Miliar kepada korban pemerasan penonton DWP, maka hal itu merupakan pengkhianatan terhadap janji Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang akan mempidanakan anggotanya yang melanggar hukum.
Saat ini sidang Komisi Kode Etik Polri telah memutuskan tiga anggota Polri di-PTDH dalam kasus pemerasan penonton DWP yang berlangsung di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat. Mereka yaitu Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Donald Simanjuntak, Kasubdit III Dirresnarkoba Polda Metro Jaya AKBP Malvino Edward Yusticia, dan Eks Panit 1 Unit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya AKP Yudhy Triananta Syaeful.
Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak dan AKP Yudhy Triananta Syaeful dipecat dalam sidang etik pada Selasa (31 Desember 2024). Sementara AKBP Malvino Edward Yusticia (MEY) dipecat dalam sidang etik pada Kamis (2 Januari 2025) lalu.
Indonesia Police Watch (IPW) menilai aneh putusan PTDH terhadap mantan direktur Resnarkoba Polda Metro Jaya, Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak yang perannya “hanya tahu tapi tidak menindak”. Hal ini merupakan putusan ambigu karena diartikan lalai. Sehingga Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak tidak sepatutnya dipecat dengan alasan karena tidak melarang dan menindak anggotanya yang memeras.
Dengan begitu, putusan dari Sidang Komisi Kode Etik Polri ini, akan menjadi celah di dalam tingkat banding, akan tetjadi putusan yakni dari PTDH ke demosi. Hal ini seperti terjadi pada anggota yang terlibat dalam kasus Ferdy Sambo dan naik pangkat.
Karenanya, putusan kasus pemerasan penonton DWP oleh anggota Polri yang ramai diperbincangkan oleh masyarakat itu, akan menjadi acuan langkah institusi Polri di tahun 2025 dan tahun-tahun berikutnya di era Presiden Prabowo.
Sikap dari Presiden Prabowo sebagai pimpinan langsung dari lembaga Polri sangatlah ditunggu. (Da_Bon/Fjr) | Foto: Istimewa