JAKARTA, Trenzindonesia | Di tengah kemajuan teknologi yang semakin cepat, ada kekhawatiran bahwa aspek bahasa dan kedaerahan masyarakat akan hilang.
Dalam sebuah webinar yang diadakan oleh Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) pada tanggal 15 Agustus 2023, para narasumber membahas masalah ini secara mendalam. Webinar ini menghadirkan tokoh-tokoh penting dalam dunia seni dan film Indonesia untuk membahas “Penggunaan Bahasa Daerah dalam Film Indonesia.”
Supriyanto, wartawan Tabloid Bintang Indonesia.com, memimpin webinar seri kedua FFWI, yang diikuti oleh 57 peserta aktif.
Adat dan budaya beragam yang unik menjadi sumber cerita berbagai genre film, termasuk bahasa daerah, seperti yang dibahas dalam seminar online ini.
Film berbahasa daerah diangkat dalam wacana bukan hanya untuk keuntungan finansial tetapi juga sebagai hiburan. Ini karena ada kosa kata atau dialek lokal yang bisa membuat penonton tertawa.
Bayu “Skak” Eko Moektito, seorang YouTuber, komedian, sutradara, dan penulis skenario, menjadi salah satu pembicara dalam webinar tersebut. Ia mengungkapkan kekhawatirannya bahwa jika kedaerahan dan bahasa daerah terpinggirkan, maka akan ada kemungkinan besar bahwa akar budaya Indonesia akan terlupakan. Ia menjelaskan bahwa film berbahasa daerah dapat menjadi sarana untuk mempertahankan kekayaan budaya Indonesia.
“Jika kedaerahan kita terkikis, kita akan menjadi manusia yang lupa pada akar budaya!” ujar Bayu “Skak” Eko Moektito.
Selain Bayu Skak, webinar kali ini menampilkan narasumber Susi Ivvaty, mantan wartawan harian Kompas, peliput bidang seni dan film yang kini aktif di Tradisi Lisan dan Lesbumi—Lembaga Seni dan Budaya di bawah naungan ormas Nahdatul Ulama (NU).
Susi Ivvaty, juga memberikan pandangannya tentang pentingnya bahasa daerah dalam film. Ia menyoroti beberapa film yang berhasil memanfaatkan bahasa daerah untuk mengangkat cerita-cerita lokal. Beberapa contohnya adalah film “Siti,” “Turah,” “Uang Panai,” dan “Yuni,” yang masing-masing menggunakan bahasa daerah Jawa, Makasar-Bugis, dan Jawa Serang.

Dalam film “Yuni” bahasa yang digunakan Jawa Serang. Jawa yang bercampur dengan bahasa Sunda. Orang Jawa dan Sunda yang tinggal di pesisir provinsi Banten, dalam percakapan sehari- hari terbiasa menggunakan bahasa masing-masing, tetapi uniknya mereka saling mengerti. “Di sinilah kita lihat bahasa itu menjadi keutamaan rasa, bahasa budaya dan dalam bahasa daerah itu kuat sekali,” urai Susi.
Film, kata Susi, perlu memanfaatkan bahasa daerah jika cerita yang diangkat beratar belakang adat dan budaya suata daerah tertentu .
“Karena feelnya ada di dalam bahasa itu,” jelasnya. Susi memberi contoh, kalau film “Uang Panai” tidak menggunakan bahasa daerah, pasti terasa hambar dan tidak ada feelnya.” Dia mengingatkan penggunaan bahasa daerah sebuah cara menghindari kepunahan bahasa.
Dalam bidang kebahasaan itu juga Susi merasa kehilangan sosok Remy Silado, seniman yang mahir berbagai bahasa daerah dan bahasa asing. Remy Silado yang wafat tahun lalu, bagi Susi pribadi yang mengingatkan pentingnya merawat dan menggunakan bahasa daerah.
Selain itu, Bayu “Skak” Eko Moektito juga berbagi pengalaman pribadinya tentang upaya pelestarian bahasa daerah dalam industri film Indonesia. Bayu yang berasal dari Malang, Jawa Timur, kemudian bertemu produser Starvision Chand Parwez Servia yang tertarik dengan cerita itu. Namun ragu dengan penggunaan Bahasa Jawa. Untuk meyakinkan, Bayu nekad bertaruh.
“Kalau film berbahasa Jawa ini tidak bisa meraih penonton sampai 500 ribu, honor saya tidak usah dibayar!” ungkapnya kala itu.

Pada kenyataannya film “Yo Wis Ben” yang digarapnya, berhasil mengumpulkan penonton sampai sekitar 900 ribu. “Bukan cuma saya yang ketagihan, produsernya pun memproduksi film “Yo Wis Ben 2”, ”Yo Wis Ben 3” dan ”Yo Wis Ben Finale,” ungkap Bayu yang memulai karier sebagai Youtuber tersebut.
Bayu mengaku bangga dan sangat percaya diri untuk memproduksi film berbahasa daerah. Ini bukan semata-mata karena “Yo Wis Ben” telah berhasil meraih jumlah penonton sampai ratusan ribu. Lebih dari itu, film berbahasa daerah bisa ikut melestarikan penggunaan bahasa daerah.
“Saya bersyukur masih bisa berbahasa Jawa halus. Anak- anak generasi Z sekarang ini berbahasa Jawa dicampur dengan bahasa Indonesia,” kata Bayu.
Oleh karena itu dia mengajak sineas dan para produser film terus meningkatkan produksi film berbahasa daerah.
Bayu menegaskan, dalam kosa kata bahasa daerah penonton juga menemukan idiom- idiom dan dialek khas kedaerahan tertentu, yang tidak ada di bahasa daerah lain. Makanya Bayu bertekad akan terus mengembangkan film berbahasa daerah seperti memakai bahasa Jawa Ngapak, bahasa Madura dan lain-lain.
Edi Suwardi, Kapokja Apresiasi dan Literasi Film mewakili Ahmad Mahendra, Direktur Perfilman, Musik dan Media, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi, juga turut berbicara dalam webinar ini. Ia mengakui bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah aktif mendukung penggunaan bahasa daerah dalam berbagai media, termasuk film. Kementerian juga telah mendanai produksi film yang menggunakan bahasa daerah.
Alasan lain meningkatnya penggunaan bahasa daerah dalam film adalah karena maraknya era digital yang memudahkan produksi dan distribusi film. Film-film berbahasa daerah seperti “Arisan! (The Gathering)” (2003), yang menggunakan bahasa Jawa, “Filosofi Kopi (2015) menggunakan bahasa Sunda, dan “Tarian Lengger Maut” (2022) yang berbahasa Bali, telah membuktikan bahwa film berbahasa daerah dapat sukses baik secara kritik maupun komersial.
Dalam era yang semakin global ini, pelestarian bahasa daerah menjadi tugas penting bagi semua pihak terkait. Film Indonesia yang memanfaatkan bahasa daerah tidak hanya mampu meraih kesuksesan secara komersial, tetapi juga menjadi wadah untuk melestarikan budaya dan bahasa daerah yang kaya dan beragam. Kehadiran film-film semacam ini tidak hanya membawa hiburan, tetapi juga membawa dampak positif dalam upaya mempertahankan akar budaya bangsa.
“Film-film berbahasa daerah ini, hebatnya sukses baik secara kritik maupun komersial, dan membantu meningkatkan kesadaran akan penggunaan bahasa daerah dalam film-film Indonesia. Karenanya ke depannya mungkin akan lebih banyak lagi film Indonesia yang menggunakan bahasa daerah,” pungkas Edi.(PR/Fajar Irawan) | Foto : Dok. FFWI